Bekasi, Mata4.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengumumkan empat tersangka baru dalam pengembangan kasus dugaan suap proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Keempatnya diduga terlibat dalam skema suap pengondisian proyek tahun anggaran 2025.
Mereka adalah Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto, Anggota DPRD Robi Vitergo, serta dua pihak swasta Ahmat Thoha alias Anang dan Mendra SB. Keempatnya kini resmi ditahan selama 20 hari ke depan.
“Para tersangka ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak 20 November sampai dengan 9 Desember 2025 di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK,” ujar Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).
Parwanto dan Robi Vitergo diduga sebagai penerima suap, sementara Ahmat Thoha dan Mendra SB disebut sebagai pemberi suap dalam kasus korupsi yang merugikan keuangan negara tersebut.
Pengembangan OTT Maret 2025
Kasus ini merupakan bagian dari pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 15 Maret 2025. Dalam OTT tersebut, sejumlah pejabat dan pihak swasta telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah, Ketua Komisi III DPRD OKU Muhammad Fahrudin, Ketua Komisi II Umi Hartati, Anggota Komisi III Ferlan Juliansyah, serta dua pengusaha Muhammad Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso.
Dari hasil penyidikan, KPK menemukan adanya praktik pengondisian anggaran pokok pikiran (pokir) anggota DPRD yang dialihkan menjadi proyek fisik Dinas PUPR.
Skema Suap: Pokir Jadi Proyek
KPK mengungkap bahwa awalnya nilai pokir DPRD disepakati mencapai Rp45 miliar, dengan pembagian Rp5 miliar untuk Ketua dan Wakil Ketua DPRD serta Rp1 miliar per anggota. Karena keterbatasan anggaran, nilai pokir dipangkas menjadi Rp35 miliar. Namun anggota DPRD tetap menagih komisi 20 persen dari total anggaran, atau sekitar Rp7 miliar.

Saat APBD 2025 disahkan, anggaran Dinas PUPR tiba-tiba melonjak dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar. KPK menilai lonjakan ini menunjukkan adanya praktik jual-beli proyek secara sistemik.
Dalam skema itu, Nopriansyah mengondisikan sembilan proyek sebagai “jatah DPRD” melalui e-katalog. Proyek-proyek tersebut meliputi rehabilitasi rumah dinas, pembangunan kantor, jembatan, hingga peningkatan jalan—dengan nilai mencapai puluhan miliar rupiah.
Fee yang disepakati mencapai 22 persen: 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD. Untuk memperlancar transaksi, Nopriansyah juga diarahkan menggunakan perusahaan penyedia dari Lampung Tengah.
Cairkan Fee Menjelang Lebaran
Menjelang Idulfitri 2025, anggota DPRD menagih fee yang dijanjikan. Proses pencairan uang muka sembilan proyek dilakukan pada 11–12 Maret 2025, meskipun Pemkab OKU sedang mengalami masalah arus kas.
Pada 13 Maret 2025, Muhammad Fahrudin mencairkan uang muka dan menyerahkan Rp2,2 miliar kepada Nopriansyah. Uang ini kemudian dititipkan kepada seorang PNS di Dinas Perkim.
Peran Pihak Swasta dan Tersangka Baru
KPK juga menemukan peran aktif pihak swasta, termasuk Ahmat Thoha dan Mendra SB, dalam memberikan suap terkait proyek Dinas PUPR OKU tahun 2024–2025. Dua anggota DPRD lainnya, yaitu Robi Vitergo dan Parwanto, diduga menerima aliran uang dari skema jual-beli proyek tersebut.
KPK memastikan penyidikan akan terus berlanjut untuk menelusuri aliran dana serta keterlibatan pihak lain yang diduga turut menikmati keuntungan dari korupsi anggaran daerah tersebut.
