Bekasi, Mata4.com – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi Undang-undang. Desakan ini disampaikan karena hingga hampir enam bulan setelah komitmen Presiden Prabowo Subianto pada 1 Mei 2025 lalu, RUU tersebut belum juga dibahas apalagi disahkan.
Vice President KSPI, Kahar S Cahyono, menegaskan bahwa janji presiden saat May Day—yang menyebut RUU PPRT akan diselesaikan dalam tiga bulan—adalah komitmen yang harus ditepati. “Janji pada rakyat adalah utang demokrasi yang harus dibayar. Tidak ada alasan bagi DPR dan Pemerintah untuk terus menunda perlindungan bagi pekerja rumah tangga,” tegas Kahar di Jakarta, Sabtu (22/11/2025).
KSPI menilai, hadirnya UU PPRT sangat penting sebagai bentuk pengakuan negara terhadap jutaan pekerja rumah tangga yang masih rentan mengalami kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Tanpa perlindungan hukum, sebagian besar PRT bekerja tanpa kontrak serta berada pada posisi tawar yang lemah dalam hubungan kerja.
Kahar juga mengkritik DPR yang dinilai pilih kasih dalam menentukan prioritas legislasi. “RUU BUMN bisa disahkan kurang dari satu bulan. Mengapa RUU yang melindungi pekerja perempuan justru digantung tanpa kepastian?” ujarnya.

Ia menekankan bahwa pekerja rumah tangga merupakan bagian penting dari care economy yang menopang produktivitas nasional. Berdasarkan kajian UN Women, nilai ekonomi perawatan dapat mencapai 20–27 persen PDB. Namun kontribusi besar ini sering tidak tercatat dan tidak dihargai.
“Ekonomi Indonesia berdiri di atas kerja perawatan yang tidak terlihat. Tanpa pekerja rumah tangga, jutaan pekerja formal tidak akan bisa bekerja dan produktif,” jelas Kahar. Menurutnya, bahkan pejabat negara, anggota DPR, hingga para menteri pun bekerja dengan tenang karena ada PRT yang mengelola rumah tangga mereka.
Data Komnas Perempuan dan JALA PRT menunjukkan bahwa mayoritas PRT tidak memiliki kontrak kerja dan rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga seksual. “Menunda pengesahan RUU PPRT adalah bentuk kekerasan struktural. Setiap hari penundaan berarti memperpanjang ketidakadilan terhadap jutaan perempuan pekerja,” tegasnya.
KSPI menyatakan bahwa perjuangan buruh tidak hanya untuk sektor formal, tetapi juga untuk pekerja informal yang berada di garis terdepan perawatan sosial. “Solidaritas buruh harus sampai ke dapur dan ruang-ruang perawatan. Tidak boleh ada buruh yang tertinggal,” tutup Kahar.
