Gaza City, Mata4.com — Sebuah bangunan bertingkat tinggi di kawasan Rimal, Gaza City, menjadi sasaran serangan udara oleh militer Israel (IDF) pada Senin pagi waktu setempat. Militer Israel mengklaim bahwa bangunan tersebut digunakan oleh kelompok Hamas untuk keperluan militer, termasuk pemantauan, penyimpanan senjata, serta pengendalian operasi melalui jaringan komunikasi internal.
Serangan ini merupakan bagian dari operasi militer yang terus berlangsung sejak eskalasi terbaru konflik Israel-Hamas dimulai kembali pada pertengahan tahun ini. Serangan terhadap bangunan sipil yang diduga memiliki fungsi militer telah memicu reaksi beragam dari berbagai pihak internasional, serta menimbulkan kekhawatiran atas meningkatnya jumlah korban sipil dan kerusakan infrastruktur penting di Gaza.
Peringatan Evakuasi Diberikan Sebelumnya
Menurut pernyataan resmi dari Israel Defense Forces (IDF), penghancuran gedung dilakukan setelah peringatan evakuasi disampaikan kepada para penghuni gedung dan warga sekitar. Metode peringatan tersebut mencakup penyebaran selebaran dari udara, pesan teks, dan panggilan telepon yang ditujukan kepada penghuni untuk segera meninggalkan area tersebut.
“Kami telah memastikan bahwa waktu evakuasi yang memadai diberikan sebelum tindakan militer dilakukan. Serangan ini diarahkan secara spesifik terhadap infrastruktur Hamas yang tersembunyi di dalam fasilitas sipil,” ujar juru bicara militer Israel dalam keterangan tertulis.
IDF juga menyebut bahwa gedung tersebut menjadi pusat komando lapangan dan menyimpan peralatan tempur serta sistem komunikasi bawah tanah yang dikendalikan oleh elemen bersenjata Hamas.
Penolakan dari Pemerintah Gaza
Di sisi lain, otoritas Palestina di Gaza membantah tudingan tersebut. Mereka menyatakan bahwa bangunan yang dihancurkan adalah gedung sipil yang berfungsi sebagai akomodasi warga, perkantoran, dan pusat layanan masyarakat.
“Bangunan ini tidak memiliki kaitan dengan aktivitas militer. Tuduhan Israel merupakan dalih untuk melanjutkan penghancuran sistematis terhadap infrastruktur sipil,” kata juru bicara Pemerintah Gaza.
Pihaknya menuduh serangan tersebut sebagai bagian dari upaya “pemaksaan pengungsian massal” yang telah menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal, terutama sejak awal Agustus 2025, ketika serangan terhadap bangunan bertingkat mulai meningkat secara drastis.
Kondisi di Lapangan: Krisis Kemanusiaan Memburuk
Lembaga-lembaga bantuan internasional melaporkan bahwa dampak dari penghancuran bangunan sipil di Gaza semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah berlangsung hampir dua tahun. Meskipun IDF mengklaim telah memberi peringatan sebelumnya, warga Gaza menyatakan bahwa waktu yang diberikan sering kali tidak cukup, terutama bagi lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
“Warga sering kali menerima peringatan hanya 15 hingga 30 menit sebelum serangan. Dalam kondisi blokade dan kepadatan penduduk, tidak semua orang bisa mengevakuasi diri tepat waktu,” kata perwakilan dari lembaga kemanusiaan internasional yang berbasis di Rafah.
Menurut laporan PBB, sejak Oktober 2023, lebih dari 90% infrastruktur perumahan di Gaza telah mengalami kerusakan atau hancur total. Selain itu, lebih dari 1,4 juta orang kini hidup sebagai pengungsi internal, banyak di antaranya berlindung di sekolah-sekolah atau tenda darurat tanpa akses terhadap air bersih, makanan, dan layanan kesehatan.
Dampak Politik dan Reaksi Internasional
Penghancuran gedung-gedung tinggi di Gaza, yang terus berulang dalam beberapa hari terakhir, menimbulkan reaksi dari berbagai negara dan organisasi internasional. Beberapa menyampaikan dukungan terhadap hak Israel untuk membela diri, sementara lainnya menyoroti pentingnya menjaga prinsip proporsionalitas dan perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata.
Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International menyerukan penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran hukum humaniter oleh kedua belah pihak.
“Semua pihak, baik Israel maupun Hamas, wajib mematuhi hukum internasional, termasuk larangan menyerang warga sipil dan penggunaan fasilitas sipil untuk tujuan militer,” demikian pernyataan bersama kedua organisasi tersebut.
Latar Belakang: Ketegangan yang Belum Reda
Konflik antara Israel dan Hamas kembali memanas sejak peristiwa serangan 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerbu wilayah Israel selatan. Sejak itu, Israel meluncurkan operasi militer skala besar di Gaza yang disebut bertujuan untuk menghancurkan kemampuan militer Hamas dan membebaskan sandera yang ditahan kelompok tersebut.
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 64.000 warga Palestina telah tewas sejak konflik dimulai, sementara ribuan lainnya terluka atau hilang. Di sisi Israel, korban jiwa tercatat lebih dari 1.400 orang, termasuk warga sipil dan personel militer.
Upaya gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan Mesir masih berlangsung, namun hingga kini belum menghasilkan kesepakatan yang dapat menghentikan permusuhan secara menyeluruh.
Kesimpulan
Serangan terhadap bangunan tinggi di kawasan Rimal, Gaza City, pada 8 September 2025 menjadi salah satu dari serangkaian serangan yang dilakukan Israel dengan dalih menghancurkan infrastruktur militer Hamas. Meski Israel mengklaim telah memperingatkan warga sipil sebelumnya, berbagai laporan menunjukkan bahwa serangan ini berkontribusi terhadap krisis kemanusiaan yang semakin dalam di wilayah Gaza.
Perdebatan soal legalitas, proporsionalitas, dan dampak serangan ini masih terus bergulir di forum internasional. Sementara itu, masyarakat sipil di kedua sisi tetap menjadi pihak yang paling terdampak dalam konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda.

