Jakarta, Mata4.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menjadi tonggak penting kebijakan publik Indonesia, sekaligus menandai realisasi janji kampanye Presiden Prabowo Subianto. Sejak diluncurkan pada Februari 2025, program ini telah menjangkau jutaan siswa di berbagai daerah dan diharapkan mampu memperbaiki status gizi anak Indonesia.
Namun, di balik optimisme tersebut, terdapat sejumlah tantangan krusial yang perlu segera dibenahi agar keberlanjutan, efektivitas, dan dampak jangka panjang MBG tetap terjaga.
Standar Keamanan Pangan
Berulangnya kasus keracunan massal siswa, termasuk Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Bandung Barat, menyoroti pentingnya penguatan standar keamanan pangan.
Ahli menilai penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) wajib dilaksanakan secara seragam di seluruh rantai produksi makanan MBG: mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, hingga distribusi.
Selain itu, proses monitoring dan evaluasi (monev) harus diperketat. Saat ini, dari 8.583 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), hanya 34 unit yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Fakta bahwa sebagian SPPG belum pernah mendapat monev rutin dari Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan lemahnya pengawasan.
Penguatan kurikulum pada program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) juga penting. Selama ini, fokusnya lebih pada logistik dan manajerial, padahal banyak peserta tidak berlatar belakang gizi atau kesehatan.
Regulasi Pengelolaan Sisa Makanan
Laporan media menunjukkan banyaknya makanan MBG yang terbuang di sekolah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK tahun 2024 mencatat, bahkan sebelum MBG, sampah makanan sudah mencapai 40% dari total timbulan sampah nasional.
Dengan asumsi 50–100 gram sisa makanan per siswa per hari, potensi sampah dari MBG diperkirakan 2.400 ton per hari atau 624 ribu ton per tahun.
Strategi komprehensif dibutuhkan:
- pengumpulan terpusat sisa makanan untuk didaur ulang,
- redistribusi makanan berlebih ke komunitas sekitar,
- analisis penerimaan menu siswa dengan uji hedonik agar makanan lebih disukai dan tidak terbuang.

Fokus Wilayah Target
MBG menargetkan menjangkau 82,9 juta siswa pada akhir 2025. Namun, sejumlah pakar menilai fokus sebaiknya diarahkan pada wilayah dengan prevalensi gizi buruk, wasting, dan stunting tertinggi.
Dengan anggaran jumbo, yakni Rp171 triliun di 2025 dan Rp335 triliun di 2026, efisiensi anggaran menjadi mutlak. Jika fokus pada daerah rawan gizi, alokasi per anak yang saat ini Rp10.000 per hari bisa ditingkatkan, sehingga kualitas makanan lebih baik dan sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Selain siswa, intervensi gizi juga bisa diperluas ke ibu hamil, menyusui, dan balita, guna memutus rantai stunting lintas generasi.
Produk Ultra-Proses dan Risiko Gizi Lebih
Analisis Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan 45% dari 29 menu MBG yang diuji mengandung pangan ultra-proses tinggi gula dan lemak—antara lain susu berperisa, biskuit, sereal instan, hingga nugget olahan.
Penggunaan pangan ultra-proses memang praktis dan murah, tetapi berisiko memunculkan masalah baru: gizi lebih di tengah upaya mengatasi gizi kurang.
Sebagai ilustrasi, satu kotak kecil susu berperisa bisa mengandung gula hingga 40% dari batas konsumsi harian anak menurut WHO. Kondisi ini dapat mempercepat fenomena double burden of malnutrition di Indonesia: gizi kurang dan gizi lebih dalam satu populasi.
Jalan Panjang MBG
MBG sejatinya lahir sebagai program populis dengan misi strategis: menyiapkan generasi sehat, kuat, dan cerdas. Namun, agar tidak sekadar menjadi program besar dengan masalah besar, pemerintah perlu memperkuat standar keamanan pangan, mengatur pengelolaan sampah makanan, memperbaiki tata kelola wilayah target, dan mengendalikan penggunaan pangan ultra-proses.
Keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari banyaknya anak yang kenyang, tetapi dari seberapa jauh ia meningkatkan kualitas gizi, kesehatan, dan masa depan generasi Indonesia.
