
Jakarta, Mata4.com — Anggaran subsidi energi selalu menjadi indikator penting dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia bukan sekadar deretan angka, tetapi cerminan dari arah kebijakan ekonomi, energi, dan sosial setiap pemerintahan. Dengan disusunnya APBN 2025, yang menjadi APBN pertama di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, publik kembali menyoroti besaran subsidi energi dan bagaimana pendekatan yang digunakan dalam mengelolanya.
Membandingkan kebijakan subsidi energi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Presiden Prabowo Subianto dalam tahun pertama pemerintahan masing-masing memberikan gambaran menarik mengenai perubahan paradigma pengelolaan fiskal dan prioritas kebijakan dari waktu ke waktu.
Subsidi Energi APBN 2025: Era Prabowo Subianto
Pemerintahan Prabowo-Gibran mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp 350 triliun dalam RAPBN 2025. Angka ini merupakan salah satu alokasi tertinggi dalam satu dekade terakhir, bahkan lebih tinggi dibandingkan saat harga minyak dunia melambung di masa pemerintahan SBY.
Rinciannya:
- Subsidi BBM dan LPG: sekitar Rp 200 triliun
- Subsidi listrik: sekitar Rp 150 triliun
Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bentuk komitmen menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang masih sangat tergantung pada energi bersubsidi.
Namun, pemerintah juga menyatakan bahwa subsidi di era ini akan dilakukan dengan pendekatan “tepat sasaran dan terarah”, memanfaatkan data dari sistem registrasi sosial ekonomi (Regsosek), pemanfaatan digitalisasi distribusi BBM dan LPG, serta koordinasi lintas kementerian untuk mencegah penyalahgunaan.
“Ini bukan soal besarannya, tapi siapa yang menerima. Presiden ingin subsidi ini dinikmati rakyat kecil, bukan untuk mobil mewah atau industri besar,” ujar Menteri Keuangan dalam pidato penyampaian Nota Keuangan RAPBN 2025.
Di tengah gejolak harga energi global, pelemahan nilai tukar rupiah, serta tekanan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa Timur, pendekatan protektif ini dianggap sebagai langkah mitigatif untuk menjaga stabilitas sosial-politik.
Subsidi Energi APBN 2015: Era Awal Jokowi
Ketika Presiden Jokowi mulai menjabat pada Oktober 2014, subsidi energi menjadi sorotan utama. Di tengah tekanan fiskal dan rendahnya efektivitas subsidi, pemerintah Jokowi mengambil langkah radikal: memangkas besar-besaran subsidi BBM.
Dalam APBN 2015, alokasi subsidi energi tercatat sebesar sekitar Rp 276 triliun, dengan komposisi yang berubah drastis:
- Subsidi BBM: hanya sekitar Rp 64,7 triliun, turun drastis dari Rp 211 triliun pada 2014
- Subsidi listrik: sekitar Rp 68 triliun
Jokowi melakukan transformasi sistem subsidi dengan:
- Menghapus subsidi untuk Premium dan Solar, kecuali untuk sektor tertentu
- Menerapkan skema subsidi tetap (fixed subsidy), menggantikan sistem subsidi harga
- Mendorong alokasi ulang dana subsidi ke infrastruktur dan bantuan sosial produktif
Langkah ini menuai apresiasi dari dunia internasional, termasuk Bank Dunia dan IMF, namun juga menimbulkan gejolak di dalam negeri akibat kenaikan harga BBM. Meski demikian, kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah reformasi fiskal Indonesia.
“Subsidi energi selama ini tidak tepat sasaran. Yang menikmati lebih banyak orang kaya. Ini tidak adil. Kami ubah supaya adil dan efisien,” kata Jokowi saat itu.
Subsidi Energi APBN 2005: Tantangan Awal SBY
Kembali ke dua dekade lalu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadapi tantangan berat ketika harga minyak dunia naik tajam pasca-invasi Irak dan meningkatnya ketegangan geopolitik global. Saat itu, subsidi energi dalam APBN 2005 dirancang sekitar Rp 59 triliun, namun realisasinya membengkak hingga lebih dari Rp 95 triliun akibat lonjakan harga minyak.
Komposisinya:
- Subsidi BBM: mendominasi, mencapai lebih dari Rp 70 triliun
- Subsidi listrik: berkisar Rp 20 triliun
Untuk mengatasi krisis fiskal, SBY mengambil langkah berani:
- Kenaikan harga BBM dua kali dalam setahun (Maret dan Oktober 2005), masing-masing sekitar 29% dan 125%
- Peluncuran program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga
Kebijakan ini sempat memicu protes sosial besar, namun dinilai efektif menahan tekanan APBN. Langkah BLT menjadi cikal bakal berbagai bentuk bantuan sosial tunai yang digunakan oleh pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan oleh Prabowo.

www.service-ac.id
Perbandingan Anggaran Subsidi Energi Tahun Pertama Pemerintahan
Presiden | Tahun APBN | Subsidi Energi Total | Subsidi BBM & LPG | Subsidi Listrik | Catatan Kebijakan |
---|---|---|---|---|---|
SBY | 2005 | ± Rp 59–95 T | ± Rp 70 T | ± Rp 20 T | Kenaikan BBM, BLT sebagai kompensasi |
Jokowi | 2015 | ± Rp 276 T | ± Rp 64,7 T | ± Rp 68 T | Reformasi subsidi, alihkan ke infrastruktur |
Prabowo | 2025 | ± Rp 350 T | ± Rp 200 T | ± Rp 150 T | Subsidi besar, dijanjikan tepat sasaran |
Refleksi: Subsidi Energi Antara Politik, Ekonomi, dan Keberlanjutan
Tiga pendekatan berbeda mencerminkan prioritas dan strategi masing-masing pemerintahan:
- SBY mengutamakan stabilisasi fiskal dan menghadapi krisis energi global dengan kombinasi penyesuaian harga dan bantuan sosial langsung.
- Jokowi melakukan reformasi mendasar dengan memangkas subsidi dan mengalihkan belanja ke sektor produktif.
- Prabowo mengambil pendekatan sosial-protektif dengan mempertahankan subsidi besar, sambil menjanjikan akurasi penyaluran menggunakan data dan teknologi.
Namun ketiganya juga menghadapi dilema yang sama: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan menjaga daya beli rakyat, mengelola fiskal secara sehat, dan mendorong transisi energi yang berkelanjutan?
Para pengamat menyebut, subsidi energi sejatinya bukan hanya urusan anggaran, tetapi juga soal visi dan keberpihakan. Saat ini, dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan transisi ke energi baru terbarukan (EBT), subsidi energi—terutama untuk BBM fosil—semakin menjadi sorotan dari sisi keadilan iklim dan efisiensi ekonomi.
“Pertanyaannya bukan hanya berapa besar subsidi, tetapi bagaimana subsidi itu dibelanjakan dan untuk siapa. Di era digital dan data terbuka, subsidi tidak boleh lagi salah sasaran,” ujar seorang ekonom dari LPEM UI.
Kesimpulan: Menuju Kebijakan Subsidi yang Lebih Cerdas
Subsidi energi tetap akan menjadi bagian penting dari APBN Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Namun, tantangan fiskal, perubahan iklim, dan kebutuhan energi bersih membuat pemerintah harus lebih inovatif dan selektif.
APBN pertama Prabowo menjadi titik awal untuk menunjukkan apakah pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara populisme fiskal dan keberlanjutan ekonomi. Masyarakat menanti, apakah subsidi yang besar ini benar-benar akan menjadi alat pemerataan, atau justru kembali menjadi beban fiskal dan ekonomi jangka panjang.