Jakarta, Mata4.com – Semester pertama 2025 menjadi periode yang cukup mengejutkan bagi para pelaku bisnis properti, khususnya di sektor apartemen. Terlepas dari berbagai stimulus dan insentif yang diberikan pemerintah, seperti pembebasan PPN 100% untuk properti hingga Rp5 miliar, penjualan apartemen justru menunjukkan kinerja yang paling rendah dalam satu dekade terakhir.
Menurut data dari konsultan properti JLL Indonesia, hanya sekitar 150 unit apartemen terjual sepanjang Januari hingga Juni 2025 di wilayah Jakarta. Padahal, dalam kondisi normal, angka penjualan bisa mencapai rata-rata 3.000 hingga 4.000 unit per semester. Apa sebenarnya penyebab terjadinya “krisis penjualan” ini?
Budaya Hunian Tapak Masih Mengakar Kuat
Salah satu faktor utama yang menjelaskan rendahnya minat terhadap apartemen adalah preferensi budaya. Mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jabodetabek, masih sangat mengutamakan kepemilikan rumah tapak dibandingkan hunian vertikal.
“Orang Indonesia itu kalau punya rumah harus ada halaman, garasi, dan ruang terbuka. Apartemen masih dianggap semacam ‘alternatif sementara’, bukan hunian utama,” ungkap Stefanus Ridwan, Direktur Utama Summarecon Agung (SMRA), dalam pernyataan persnya.
Biaya Tinggi dan Kelelahan Konsumen
Bukan hanya harga unit yang tinggi, biaya pemeliharaan apartemen seperti iuran pengelolaan lingkungan (IPL), biaya parkir, listrik bersama, dan perawatan fasilitas umum lainnya juga memberatkan konsumen. Untuk segmen menengah, angka IPL yang bisa mencapai Rp20.000–30.000/m² per bulan menjadi beban tambahan yang membuat banyak calon pembeli mengurungkan niat.
Selain itu, banyak konsumen yang kecewa dengan pengalaman masa lalu—apartemen yang dibangun lambat, fasilitas tak sesuai janji brosur, hingga pengelolaan pasca-serah terima yang buruk. Hal-hal ini menciptakan kelelahan mental (buyer fatigue) dan penurunan kepercayaan terhadap produk apartemen.
Oversupply di Tengah Kelesuan Permintaan
REI DKI Jakarta mencatat bahwa terdapat lebih dari 6.000 unit apartemen baru di Jakarta yang belum terserap pasar. Di kawasan-kawasan premium seperti SCBD, TB Simatupang, dan CBD Kuningan, unit-unit apartemen kosong masih mendominasi lanskap kota.
Kondisi oversupply ini diperparah oleh ketidaksesuaian antara produk yang ditawarkan dan kebutuhan pasar. Banyak pengembang membangun unit besar 3 kamar tidur dengan harga miliaran rupiah, sementara pasar utama saat ini justru berasal dari kalangan muda, keluarga kecil, atau first-time buyer yang lebih membutuhkan unit studio hingga dua kamar tidur dengan harga terjangkau.
Insentif Pemerintah Kurang Menggigit
Meskipun pemerintah kembali meluncurkan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100% untuk pembelian rumah dan apartemen ready stock dengan harga hingga Rp5 miliar, nyatanya stimulus ini belum mampu mendorong lonjakan signifikan.
“Efek PPN DTP tidak terlalu terasa untuk apartemen, karena kendalanya bukan cuma harga. Ada banyak faktor psikologis dan struktural yang membuat masyarakat tetap menahan diri,” ujar Lukman Purnomosidi, Ketua Umum DPP REI DKI Jakarta.
Selain itu, adanya jeda waktu antara berakhirnya insentif PPN DTP sebelumnya (Desember 2023) dengan diperpanjangnya insentif ini pada Maret 2025 membuat pasar kehilangan momentum. Banyak calon pembeli menunda pembelian dan menjadi ragu-ragu karena ketidakpastian kebijakan.

www.service-ac.id
Yield Rendah, Investor Mundur
Bagi investor, apartemen tak lagi menarik secara finansial. Return investasi atau rental yield untuk apartemen saat ini hanya berada di kisaran 3%–4% per tahun. Bandingkan dengan obligasi pemerintah yang menawarkan yield di atas 7% dan deposito bank yang masih memberikan 5%–6%.
Kondisi ini menyebabkan banyak investor lebih memilih untuk memarkir dananya di instrumen keuangan lain daripada berinvestasi di properti. Apalagi di tengah naiknya suku bunga KPR dan berbagai beban tambahan yang harus ditanggung pemilik apartemen.
Tantangan Biaya Konstruksi dan Perizinan
Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia Triwulan II/2025 mengungkapkan bahwa kenaikan harga bahan bangunan menjadi salah satu penghambat utama pembangunan dan penjualan properti. Semen, baja ringan, hingga aluminium mengalami lonjakan harga akibat fluktuasi global dan keterbatasan pasokan dalam negeri.
Selain itu, proses perizinan pembangunan masih menjadi hambatan besar. Pengurusan IMB (atau saat ini disebut PBG), AMDAL, dan berbagai izin teknis lainnya memakan waktu lama, belum lagi risiko perubahan regulasi di tengah jalan. Hal ini membuat banyak pengembang memilih menunda pembangunan proyek baru, dan lebih fokus menghabiskan stok yang tersisa.
Pengembang Berstrategi Bertahan
Melihat kondisi pasar yang stagnan, sejumlah pengembang besar mengambil langkah konservatif:
- Menunda peluncuran proyek baru dan fokus pada pemasaran unit siap huni.
- Menyesuaikan konsep produk agar lebih relevan dengan kebutuhan generasi muda (co-living, compact living, fasilitas sharing).
- Berinovasi dalam skema pembiayaan seperti subsidi bunga, DP ringan, atau kerja sama KPA dengan bank swasta.
Namun, upaya ini masih belum cukup membalikkan tren secara signifikan. Bahkan, data dari Real Estate Indonesia menunjukkan bahwa peluncuran proyek rumah tapak justru anjlok hingga 49% pada semester pertama 2025, menunjukkan bahwa seluruh sektor properti sedang mengalami tekanan, bukan hanya apartemen.
Menuju Semester II/2025: Harapan & Tantangan
Ke depan, banyak pihak berharap bahwa Semester II/2025 bisa memberikan titik balik. Kunci pemulihan pasar apartemen terletak pada:
- Konsistensi kebijakan insentif (tanpa jeda atau ketidakpastian).
- Percepatan reformasi perizinan dan kemudahan usaha.
- Penyesuaian produk agar lebih tepat sasaran (affordable housing).
- Digitalisasi pemasaran dan transparansi pengelolaan proyek.
Namun, bila tidak ada pembaruan strategi dan pendekatan menyeluruh dari sisi pemerintah dan pengembang, bukan tak mungkin jualan apartemen akan terus rontok hingga akhir tahun, atau bahkan lebih buruk lagi—menjadi produk yang benar-benar kehilangan relevansi di mata generasi mendatang.
Penutup
Fenomena anjloknya penjualan apartemen di Semester I/2025 bukan sekadar gejala sementara. Ini adalah cerminan dari ketidaksesuaian model bisnis properti lama dengan preferensi konsumen baru. Butuh transformasi yang lebih dalam, bukan sekadar insentif sementara, agar sektor hunian vertikal ini kembali menemukan momentumnya.
