
Jakarta, Mata4.com — Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Dr. Yuni Rahmawati memberikan klarifikasi tegas atas maraknya pemberitaan terkait pengunduran diri sejumlah guru Sekolah Rakyat (SR) di berbagai daerah. Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Kementerian Pendidikan, Jakarta Pusat, ia menepis anggapan bahwa gelombang pengunduran diri tersebut disebabkan oleh persoalan gaji atau kesejahteraan finansial.
Menurut Mendikdasmen, alasan utama di balik mundurnya para pendidik tersebut lebih kompleks, berkaitan dengan beban psikososial, ketegangan internal, serta kurangnya dukungan sistemik, bukan semata persoalan uang.
“Ini bukan soal nominal. Ini soal visi, daya tahan mental, dan ketidaksesuaian antara idealisme dengan realitas. Guru-guru ini adalah relawan yang berjuang dengan hati, tetapi jika sistem tidak mendukung, mereka kelelahan,” tegas Yuni Rahmawati.
Kasus Terjadi di Beberapa Kota: Malang, Yogyakarta, Bandung
Data sementara menunjukkan bahwa kasus pengunduran diri guru Sekolah Rakyat tersebar di tiga kota besar:
- Kota Malang, Jawa Timur
Lima orang guru dari Sekolah Rakyat “Pelita Bumi” mengundurkan diri pada akhir Juli 2025. Dalam surat terbuka yang mereka unggah secara kolektif, mereka menyebut “beban kerja yang tidak manusiawi, ketidakpastian sistem pengelolaan sekolah, dan minimnya dukungan dari komunitas sekitar” sebagai alasan utama pengunduran diri. - Yogyakarta
Dua guru dari Sekolah Rakyat “Sanggar Belajar Lestari” di Bantul menyatakan mundur karena merasa sistem pembelajaran terlalu eksploitatif terhadap tenaga pengajar, ditambah tekanan sosial dari komunitas orang tua yang kurang aktif dalam mendukung proses belajar-mengajar. - Kota Bandung, Jawa Barat
Di Sekolah Rakyat “Rumah Cahaya Anak”, tiga guru mengundurkan diri karena harus mengerjakan tugas ganda—mengajar, mengurus administrasi, mencari dana operasional, dan bahkan membenahi fasilitas secara swadaya.
Apa Itu Sekolah Rakyat?
Sekolah Rakyat (SR) adalah bentuk pendidikan alternatif non-formal yang bertujuan memberikan akses belajar kepada anak-anak dari keluarga marginal atau mereka yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Sekolah ini banyak tersebar di kawasan urban padat dan pinggiran kota, dengan pendekatan belajar yang humanis, kontekstual, dan bebas dari tekanan ujian formal.
Namun, karena tidak termasuk dalam struktur resmi Kemendikbudristek, guru-gurunya tidak mendapat gaji tetap atau status ASN, dan sering mengandalkan donasi publik atau swadaya komunitas.
Klarifikasi Pemerintah: Bukan Karena Gaji, Tapi Tantangan Sistem
Mendikdasmen Yuni Rahmawati menekankan bahwa pengunduran diri ini bukan gejala krisis keuangan, melainkan gejala ketidakseimbangan beban kerja dengan kapasitas manusia yang terbatas. Ia menyebut para guru Sekolah Rakyat sebagai “pejuang pendidikan” yang menghadapi tantangan berat tanpa perlindungan formal dari negara.
“Mereka lelah secara emosional, bukan hanya karena mengajar, tapi karena harus menjadi pendana, pengelola, hingga teknisi sekolah. Itu tidak sehat untuk jangka panjang,” jelasnya.

www.service-ac.id
Respons Masyarakat & Aktivis
Heri Wibowo, aktivis pendidikan dari Yayasan Anak Merdeka Yogyakarta, menilai bahwa fenomena ini harus menjadi bahan evaluasi nasional. Menurutnya, sudah saatnya negara mulai mengakui dan merangkul pendidikan non-formal sebagai bagian dari ekosistem pendidikan nasional.
“Mereka ini bukan pegawai negeri, tapi dampaknya langsung ke anak-anak yang termarjinalkan. Kalau negara membiarkan mereka kelelahan dan pergi, siapa yang menggantikan?” ujar Heri.
Di media sosial, banyak orang tua murid dan alumni Sekolah Rakyat yang menyuarakan kekecewaan sekaligus empati kepada guru-guru yang mengundurkan diri. Mereka menilai pengabdian para guru tersebut sudah seharusnya mendapat dukungan moral dan struktural.
Langkah Kementerian: Pendampingan dan Jejaring Pendukung
Sebagai langkah awal, Kementerian Pendidikan menyatakan akan membentuk tim fasilitator pendamping untuk menjembatani dialog antara komunitas SR dengan pemerintah lokal dan mitra pendidikan. Selain itu, Kementerian juga akan menyusun modul pelatihan resilien mental bagi guru non-formal, serta membuka akses ke program bantuan sosial dari pihak ketiga, termasuk CSR swasta dan LSM mitra.
“Kami tidak akan menyeragamkan Sekolah Rakyat, tapi kami ingin hadir sebagai pihak yang mendengar dan memberi ruang,” tegas Mendikdasmen.
Kesimpulan
Pengunduran diri sejumlah guru Sekolah Rakyat di Malang, Yogyakarta, dan Bandung menyoroti tantangan besar dalam dunia pendidikan non-formal di Indonesia. Meski tidak beroperasi dalam payung formal negara, Sekolah Rakyat telah memainkan peran penting dalam mendidik anak-anak dari lapisan paling rentan.
Isu ini bukan sekadar soal gaji, tapi soal dukungan sistemik, keberlangsungan kerja pengabdian, dan perlunya pendekatan manusiawi terhadap para pendidik alternatif. Negara, komunitas, dan masyarakat luas perlu duduk bersama agar pendidikan untuk semua benar-benar bisa terwujud.