
Jakarta, 28 Juli 2025 – Kita hidup di zaman ketika gambar berbicara lebih lantang daripada kata. Di era media sosial, streaming, meme, dan filter digital, citra visual bukan sekadar pelengkap, melainkan telah menjadi pusat dari cara manusia membentuk identitas, mengingat sejarah, hingga membangun makna dalam kehidupan sosial.
Fenomena ini mendorong munculnya istilah “budaya gambar” (image culture), yaitu masyarakat yang semakin menempatkan visual sebagai sarana utama ekspresi, representasi, bahkan validasi eksistensi diri. Namun, bagaimana relasi antara visual dan identitas berkembang dalam konteks ini? Apa yang berubah, dan apa yang perlu kita kritisi?
Visual sebagai Bahasa Global Baru
Bahasa visual hari ini menjadi media komunikasi yang melampaui batas geografis dan linguistik. Gambar, foto, ilustrasi, emoji, hingga video pendek memiliki daya transfer makna yang cepat dan instan. Dalam platform seperti Instagram, TikTok, atau X (Twitter), ekspresi visual bahkan kerap lebih viral dan berpengaruh dibandingkan narasi teks panjang.
“Gambar telah menjadi kosakata baru dalam berinteraksi sosial. Ia menyederhanakan, tetapi juga bisa menyamarkan makna yang kompleks,” ujar Dr. Laila Nurrachman, pengamat media visual dan dosen komunikasi visual di Universitas Indonesia.
Identitas yang Dibentuk Kamera
Di era budaya gambar, identitas personal maupun kolektif tak lagi hanya terbentuk dari latar belakang sosial dan narasi sejarah, tetapi juga dari cara seseorang mempresentasikan dirinya secara visual: pose, pencahayaan, komposisi warna, hingga filter yang digunakan.
“Selfie bukan sekadar foto wajah. Ia adalah konstruksi identitas yang dikurasi,” kata Dr. Laila. “Kita memilih foto terbaik, mengedit, mengatur caption, karena sadar bahwa gambar itu akan dilihat, dinilai, dan membentuk cara orang lain memaknai siapa kita.”
Identitas visual ini juga dapat bersifat politis. Misalnya, cara komunitas minoritas merepresentasikan diri mereka dalam media sosial bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap stereotip lama yang didominasi media arus utama.

www.service-ac.id
Budaya Gambar dan Representasi Sosial
Tidak hanya soal personal branding, visual juga menjadi alat dominasi dan negosiasi makna dalam ruang publik. Iklan, kampanye politik, poster protes, grafiti, hingga dokumentasi sejarah — semuanya adalah medan pertarungan representasi.
Kritikus budaya visual Susan Sontag pernah menyatakan, “Setiap foto adalah interpretasi, bukan kebenaran.” Di era digital, interpretasi ini menjadi semakin kompleks karena gambar bisa dimanipulasi, direproduksi tanpa batas, dan disebarluaskan secara viral.
Contohnya, foto demonstrasi bisa diambil dari sudut berbeda untuk menyampaikan narasi yang saling bertentangan: heroik, anarkis, atau sentimental — tergantung siapa yang memotret, mengedit, dan menyebarkan.
Tantangan Etika dan Otentisitas
Ketika visual menjadi fondasi identitas dan komunikasi sosial, maka keaslian (otentisitas) menjadi isu sentral. Deepfake, AI-generated images, manipulasi digital, dan konten hoaks visual membuat kita harus mempertanyakan ulang: gambar siapa yang kita lihat? Untuk tujuan apa?
“Kepercayaan terhadap gambar menurun seiring kemampuannya untuk dimanipulasi naik,” ujar Daniel Aji, praktisi visual dan desainer grafis dari Bandung. “Kita butuh literasi visual, bukan hanya literasi media.”
Pendidikan Visual dan Masa Depan Representasi
Di tengah lautan visual yang kita konsumsi setiap hari, penting bagi masyarakat — terutama generasi muda — untuk memiliki kesadaran kritis terhadap citra yang mereka lihat dan buat. Pendidikan visual seharusnya tidak hanya mengajarkan cara menggambar atau memotret, tapi juga bagaimana memahami konteks, nilai, dan dampak gambar terhadap budaya dan identitas.
Institusi pendidikan, museum, bahkan media massa perlu ikut mendorong visual literacy agar masyarakat tidak menjadi konsumen pasif dari gambar, tapi juga menjadi pencipta yang sadar makna.
Penutup: Siapa yang Mengendalikan Gambar, Mengendalikan Makna
Era budaya gambar telah mengubah cara kita memahami dunia dan diri sendiri. Di satu sisi, ia memberi peluang untuk berekspresi tanpa batas, tetapi di sisi lain, ia membuka ruang bagi distorsi dan dominasi narasi tunggal.
Ketika identitas dibentuk oleh gambar, dan gambar dapat dimanipulasi, maka pertanyaan yang harus kita ajukan bukan hanya “Apa yang saya lihat?” tetapi juga “Mengapa saya melihat ini?” dan “Siapa yang ingin saya percaya?”