Jakarta, Mata4.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan akan memperketat pengawasan di pelabuhan dan kapal-kapal pengangkut barang untuk memberantas praktik under invoicing di lingkungan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
Langkah ini akan dibantu oleh teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengoptimalkan pengawasan jalur barang masuk dan keluar pelabuhan.
“Sudah cukup bagus tapi belum ke level di mana bisa secara online, di situ saja monitor kapalnya under invoicing. Belum sampai sana karena AI-nya belum dikembangkan,” ujar Menkeu Purbaya usai diskusi dengan pimpinan DJBC di Kemenkeu, Rabu (22/10/2025).
Pengembangan Sistem AI dan Tim Khusus
Dalam tiga bulan ke depan, Kemenkeu akan mengembangkan sistem AI. Teknologi ini akan terintegrasi dengan Lembaga National Single Window (LNSW) sebagai pusat intelijen berbasis teknologi informasi.
Menkeu Purbaya menjelaskan, tim khusus beranggotakan 10 ahli dari berbagai bidang, termasuk matematikawan, akan dibentuk untuk menganalisis potensi kebocoran di Bea Cukai. Tim ini diharapkan berperan sebagai think tank yang memberikan rekomendasi riset dalam aktivitas perdagangan.
“Tidak hanya di bea cukai, teknologi AI juga akan digunakan dalam sistem pajak. Kita perkuat sistem penerimaan dari monitoring ujung ke ujung,” tambahnya.

Penindakan Mafia Perdagangan
Menkeu Purbaya menegaskan, penangkapan mafia perdagangan besar akan dilakukan dalam waktu dekat. Ia mengaku sudah mengantongi identitas para pelaku.
“Yang under-invoicing, yang selama ini menyelundupkan, terbanyak tekstil, baja, dan sebagainya. Sudah ada nama-nama pemainnya, tinggal diproses,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/10/2025).
Namun, Purbaya belum merinci jumlah kerugian negara maupun potensi pemulihan pendapatan akibat praktik penyelundupan tersebut.
Dukungan dari Pengamat
Analis dari Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra, menyambut positif langkah Menkeu Purbaya. Ia menekankan pentingnya membersihkan internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan DJBC dari praktik mafia yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Menurut Gede, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, praktik miss invoicing diduga merugikan negara hingga Rp1.000 triliun per tahun. Hal ini sejalan dengan pengakuan Jokowi pada 2016 terkait simpanan dana warga Indonesia di luar negeri sebesar Rp11.000 triliun.
“Ini menunjukkan urgensi reformasi dan pengawasan ketat untuk mengembalikan potensi penerimaan negara yang hilang,” kata Gede di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
