Bekasi, Mata4.com – Pemerintah kini bersiap meluncurkan gebrakan besar di sektor kesehatan masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Menko Zulhas), tengah memimpin kajian serius untuk menerapkan label peringatan mencolok “Tinggi Gula” di setiap kemasan minuman berpemanis yang beredar di pasaran.
Langkah ini bukan sekadar urusan label, tetapi misi nasional menyelamatkan generasi muda dari penyakit degeneratif, seperti diabetes dan gagal ginjal dini.
“Minuman manis ini yang membuat anak muda kita mengalami cuci darah di usia muda dan obesitas, sehingga produktivitasnya terganggu. Pemerintah wajib membuat masyarakat tahu kandungan gulanya sebelum mereka membeli dan mengonsumsi,” tegas Menko Zulhas, Kamis (13/11/2025).
Darurat Diabetes: Indonesia Peringkat Kelima Dunia
Data terbaru International Diabetes Federation (IDF) 2024 menunjukkan situasi kesehatan yang mengkhawatirkan.
Indonesia kini menempati peringkat kelima dunia dengan 20,4 juta penderita diabetes, setara 11,3 persen dari populasi dewasa (usia 20–79 tahun).
Lonjakan ini beriringan dengan meningkatnya konsumsi gula nasional yang mencapai 7,6 juta ton per tahun. Sebagian besar disumbang oleh minuman berpemanis yang kini menjadi bagian dari gaya hidup anak muda di perkotaan.
Studi menunjukkan, lebih dari 75 persen remaja perkotaan di Indonesia mengonsumsi minuman manis minimal tiga kali seminggu — kebiasaan yang perlahan meningkatkan risiko obesitas, resistensi insulin, hingga gagal ginjal dini.
Fenomena ini menjadi alarm keras bagi pemerintah, mengingat biaya penanganan penyakit kronis akibat gula berlebih terus membengkak setiap tahun.
Mencontoh Thailand dan Chile: Transparansi Pangan Adalah Kunci
Menurut Menko Zulhas, kebijakan label “Tinggi Gula” ini mengacu pada praktik terbaik dari sejumlah negara yang telah lebih dulu sukses melakukannya — seperti Thailand, Chile, dan Singapura.
Negara-negara tersebut menerapkan label peringatan visual besar dan mencolok di bagian depan kemasan, yang terbukti menekan konsumsi minuman tinggi gula hingga 30 persen dan mendorong industri berinovasi membuat produk rendah gula.

“Kita tidak melarang orang minum manis. Silakan saja, itu hak pribadi. Tetapi masyarakat harus tahu risiko kesehatan yang mereka ambil,” ujar Zulhas.
“Kuncinya sederhana: kalau anak muda sehat, Indonesia akan produktif.”
Kebijakan ini juga akan menjadi bagian dari strategi transparansi informasi pangan nasional, yang diharapkan memperkuat kesadaran masyarakat terhadap asupan gula harian maksimal yang disarankan WHO, yaitu 50 gram per hari (sekitar 12 sendok teh).
Dari Kajian ke Implementasi: Tantangan di Meja Pemerintah
Meski baru tahap kajian, pemerintah disebut tengah menyiapkan regulasi lintas kementerian, melibatkan Kemenkes, BPOM, dan Kemenperin, untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif tanpa menghambat inovasi industri.
Beberapa produsen besar disebut mulai mempersiapkan reformulasi produk guna menyesuaikan kadar gula agar tidak masuk kategori “tinggi”.
Sementara itu, sejumlah organisasi kesehatan dan akademisi menyambut positif langkah ini, menyebutnya sebagai “langkah berani yang sudah tertunda lama.”
Menuju Generasi Emas 2045 yang Sehat
Pemerintah berharap kebijakan labelisasi ini bisa menjadi pintu masuk perubahan gaya hidup nasional, terutama di kalangan remaja dan pekerja muda.
Jika berhasil diterapkan, kebijakan ini berpotensi menekan angka diabetes nasional hingga 15 persen dalam satu dekade, sekaligus mengurangi beban pembiayaan BPJS Kesehatan akibat penyakit tidak menular.
Kini, publik menantikan seberapa cepat kajian ini bisa berubah menjadi tindakan nyata, dari ruang rapat kementerian menjadi stiker peringatan besar di setiap botol dan kaleng minuman.
