
Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 25 Juli 2025 — Di balik gemuruh modernisasi dan derasnya arus budaya global, ada satu warisan adat yang terus bertahan di jantung masyarakat Manggarai, NTT: Ritus Wagal, sebuah prosesi puncak dalam pernikahan adat yang bukan hanya menyatukan dua insan, tapi juga dua keluarga besar dalam ikatan budaya dan spiritual yang dalam.
Kini, ritus sakral ini sedang melangkah ke panggung dunia. Pemerintah Indonesia bersama masyarakat adat dan pemangku budaya lokal tengah mengupayakan agar Wagal diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia oleh UNESCO. Langkah ini bukan semata demi pengakuan, melainkan untuk memastikan tradisi leluhur ini tetap hidup, terjaga, dan diwariskan lintas generasi.
Makna Filosofis dalam Balutan Tradisi
Ritus Wagal bukan sekadar upacara adat. Ia adalah puncak dari keseluruhan rangkaian prosesi pernikahan Manggarai yang meliputi beberapa tahapan penting, seperti paca (pembicaraan awal antar keluarga), weli (penyerahan mahar), hingga tuak curu (pertemuan informal dengan simbol persetujuan bersama).
Wagal menandai titik di mana seluruh kesepakatan keluarga telah tercapai, dan pernikahan disahkan secara adat. Dalam ritual ini, kedua keluarga berkumpul dan menyampaikan ikrar pernikahan secara simbolis. Acara dipimpin oleh tua adat (tetua suku) yang memainkan peran penting sebagai penjaga nilai dan pelestari warisan leluhur.
Dalam Wagal, diucapkan pernyataan kesepakatan dan pengakuan bahwa ikatan antara kedua pihak telah sah dan diterima oleh komunitas. Penyerahan simbolik berupa kain tenun Manggarai, sirih pinang, hingga hewan adat seperti kerbau atau babi, memperkuat makna dari ritus ini sebagai upaya pemuliaan hubungan sosial dan spiritual.
Langkah Menuju UNESCO: Dokumentasi dan Kolaborasi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi NTT dan para akademisi, antropolog, serta komunitas adat Manggarai tengah menyusun dossier pengajuan ritus Wagal ke UNESCO. Proses ini melibatkan:
- Penelitian lapangan yang mendokumentasikan pelaksanaan ritus Wagal secara langsung;
- Wawancara dengan tetua adat dan tokoh budaya yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai sejarah dan makna ritual;
- Pengumpulan artefak, rekaman video, dan deskripsi simbolik, yang memperkuat nilai budaya takbenda dari tradisi tersebut;
- Pelibatan aktif masyarakat adat, terutama generasi muda, agar proses ini tidak hanya menjadi milik elite budaya, tetapi hidup di tengah masyarakat.
“Kami ingin dunia tahu bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Wagal bukan hanya soal upacara, tapi juga nilai-nilai yang dijunjung tinggi seperti gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap leluhur,” ujar Maria L. Ratu, Kepala Dinas Kebudayaan NTT, dalam salah satu pertemuan adat di Ruteng.
Tantangan Pelestarian di Tengah Arus Modernisasi
Meski kaya akan nilai luhur, ritus Wagal kini menghadapi berbagai tantangan. Generasi muda Manggarai, yang semakin terpapar budaya luar dan migrasi ke kota-kota besar, mulai menjauh dari akar tradisi mereka. Beberapa pasangan memilih pernikahan modern tanpa prosesi adat, baik karena biaya maupun karena dianggap tidak relevan lagi.
Yohanes Golo, tetua adat dari kampung Todo, menyoroti fenomena ini dengan keprihatinan. “Wagal bukan hanya simbol, tapi jalan hidup. Kalau tidak kita lestarikan, nanti anak cucu kita hanya tahu lewat cerita atau video. Itu sangat disayangkan,” katanya.
Untuk menjawab tantangan ini, sejumlah komunitas adat di Manggarai mulai menggagas edukasi budaya lokal di sekolah-sekolah, mengadakan festival adat, dan memperkenalkan Wagal dalam bentuk yang lebih inklusif dan hemat biaya, tanpa mengurangi esensinya.
Wagal dalam Konteks Budaya Nasional dan Global
Pengajuan ritus Wagal ke UNESCO merupakan bagian dari strategi nasional untuk memperkuat identitas budaya Indonesia di mata dunia. Sebelumnya, beberapa tradisi seperti Wayang, Batik, Angklung, dan Pencak Silat telah berhasil memperoleh pengakuan serupa sebagai Intangible Cultural Heritage.
Bagi masyarakat Manggarai, pengakuan ini bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari tanggung jawab besar: menjaga, merawat, dan meneruskan warisan ini kepada generasi berikutnya.
Dr. Fransiskus Beda, antropolog dari Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng, menegaskan bahwa Wagal mencerminkan sistem nilai masyarakat Manggarai secara utuh. “Ia mengandung struktur sosial, sistem kepercayaan, dan relasi antar komunitas. Dengan mendalami Wagal, kita juga mempelajari bagaimana masyarakat Manggarai membangun dunia mereka,” ujarnya.
Kesimpulan: Dari Manggarai untuk Dunia
Ritus Wagal adalah cerminan kearifan lokal yang kaya akan simbolisme, spiritualitas, dan makna sosial. Ia bukan sekadar prosesi adat, melainkan sebuah cara hidup—sebuah warisan yang telah mengikat masyarakat Manggarai selama berabad-abad.
Melalui proses pengajuan ke UNESCO, Wagal tidak hanya akan dikenal oleh dunia, tetapi juga memberi semangat baru bagi masyarakat lokal untuk kembali menengok dan menghargai akar budayanya. Di tengah dunia yang berubah begitu cepat, Wagal hadir sebagai pengingat: bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan jembatan menuju masa depan yang berakar kuat pada identitas diri.