
Jakarta, Mata4.com — Di tengah dinamika global yang serba tak pasti dan tekanan kebutuhan energi nasional yang terus meningkat, Indonesia memancang target ambisius: swasembada energi. Salah satu komponen utama dari visi besar ini adalah pencapaian target lifting minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2026.
Namun, mimpi ini bukan tanpa rintangan. Sektor hulu migas nasional menghadapi beragam tantangan struktural dan teknis yang membuat perjalanan menuju target tersebut terasa berat, bahkan bagi para pelaku industri yang paling optimis sekalipun.
Swasembada Energi: Strategi atau Sekadar Simbol?
Gagasan swasembada energi sesungguhnya bukan hal baru. Sejak dekade 2000-an, Indonesia telah menyuarakan keinginan untuk mandiri secara energi demi mengurangi ketergantungan pada impor, menekan defisit neraca perdagangan, dan meningkatkan ketahanan nasional.
Namun realita di lapangan tidak mudah. Konsumsi energi, terutama bahan bakar minyak (BBM), terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan industri. Sementara itu, produksi minyak nasional justru menurun dari tahun ke tahun.
Saat ini, lebih dari 40% konsumsi BBM Indonesia dipenuhi oleh impor. Ketergantungan ini tidak hanya membebani neraca transaksi berjalan, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap fluktuasi harga minyak global.
Untuk itu, swasembada energi menjadi semacam “agenda besar bangsa” yang melibatkan lintas sektor: pemerintah, BUMN, swasta, bahkan akademisi.
Realita Produksi: Masih Jauh dari Target
Berdasarkan data SKK Migas hingga kuartal II 2025, lifting minyak bumi nasional masih berada di angka sekitar 610 ribu bph, sementara produksi gas bumi mencapai sekitar 6,5 BSCFD. Artinya, dalam waktu kurang dari dua tahun, Indonesia dituntut untuk meningkatkan produksi minyak sekitar 390 ribu bph dan hampir melipatgandakan produksi gas.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, dalam beberapa kesempatan menyebut bahwa target tersebut masih “on track” secara perencanaan, tetapi pelaksanaannya memerlukan kerja luar biasa. “Kami tidak pernah bilang ini target mudah. Tapi ini target strategis yang harus dikejar dengan semua kekuatan yang ada,” ujarnya dalam sebuah konferensi energi di Jakarta, Juni lalu.
Tantangan Nyata di Lapangan
1. Lapangan Tua dan Penurunan Produksi Alamiah (Decline Rate)
Lebih dari 70% lifting minyak nasional berasal dari lapangan-lapangan tua seperti Rokan, Mahakam, dan Duri. Produksi dari lapangan-lapangan ini terus mengalami penurunan alamiah (natural decline) setiap tahunnya, antara 10–15%. Untuk menjaga atau meningkatkan produksi, dibutuhkan teknologi mahal seperti enhanced oil recovery (EOR) dan investasi besar dalam pengeboran sumur baru.
2. Minimnya Eksplorasi dan Temuan Besar
Selama satu dekade terakhir, Indonesia belum menemukan cadangan migas besar (giant discovery) yang signifikan. Padahal, eksplorasi merupakan kunci utama menambah cadangan. Kendala eksplorasi mencakup akses wilayah kerja, perizinan panjang, dan risiko komersial yang tinggi.
3. Iklim Investasi yang Kurang Kompetitif
Meskipun pemerintah telah melakukan beberapa reformasi fiskal di sektor migas, iklim investasi dinilai masih belum cukup menarik dibanding negara pesaing seperti Malaysia, Vietnam, atau bahkan Guyana. Investor migas global menuntut kepastian hukum, skema kontrak yang fleksibel, dan return yang kompetitif untuk mengkompensasi risiko eksplorasi tinggi.
4. Tantangan Sosial dan Lingkungan
Beberapa proyek strategis, seperti Blok Masela, menghadapi resistensi dari masyarakat lokal, isu lingkungan, dan kendala pembebasan lahan. Di era transisi energi dan tuntutan ESG (Environmental, Social, Governance), proyek migas kini menghadapi pengawasan lebih ketat, baik dari dalam negeri maupun internasional.

www.service-ac.id
Langkah Pemerintah: Percepatan & Deregulasi
Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan SKK Migas mendorong sejumlah kebijakan, di antaranya:
- Pemberian insentif fiskal dan skema gross split fleksibel untuk menarik investasi.
- Percepatan perizinan eksplorasi dan eksploitasi melalui sistem digitalisasi dan integrasi antarinstansi.
- Penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk beberapa proyek hulu migas besar agar mendapat prioritas pendanaan dan pengawalan birokrasi.
- Peningkatan peran BUMN, khususnya Pertamina, dalam mengambil alih blok migas yang ditinggalkan kontraktor asing dan mengembangkan lapangan baru secara agresif.
Rencana Proyek Hulu Migas Strategis
Beberapa proyek besar yang diharapkan bisa mendorong capaian lifting 2026 antara lain:
- Proyek Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Jawa Timur – gas in pada 2023, kini ditingkatkan kapasitasnya.
- Proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) – proyek laut dalam Kalimantan yang diharapkan mulai produksi pada akhir 2025.
- Proyek LNG Abadi Masela – meski sempat tersendat, proyek ini tetap dipandang sebagai masa depan pasokan gas nasional.
- Blok Rokan dan Mahakam – menjadi tumpuan utama peningkatan produksi minyak melalui pengembangan teknologi EOR.
Pertamina dan Mitra Global: Siapkah Mereka?
Pertamina Hulu Energi, sebagai tulang punggung hulu migas nasional, menargetkan peningkatan produksi tahunan melalui optimalisasi lapangan eksisting, akuisisi aset baru di luar negeri, dan penguatan eksplorasi dalam negeri.
Sementara itu, perusahaan migas asing seperti Chevron, BP, ENI, dan Harbour Energy mulai menunjukkan minat baru untuk memperluas operasi di Indonesia, terutama setelah pemerintah memberikan fleksibilitas dalam kontrak migas dan menjanjikan stabilitas fiskal jangka panjang.
Namun, investor juga meminta konsistensi regulasi dan kepastian proyek. Tanpa itu, komitmen investasi akan tetap rendah.
Dilema Transisi Energi: Migas vs EBT?
Salah satu dilema utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah soal prioritas: di satu sisi pemerintah mendorong transisi ke energi baru terbarukan (EBT), namun di sisi lain tetap mengandalkan migas sebagai sumber utama energi dan penerimaan negara.
“Transisi energi harus realistis,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif. “Selama belum ada energi alternatif yang bisa menggantikan peran migas dalam perekonomian, maka sektor ini tetap menjadi prioritas pembangunan.”
Kesimpulan: Antara Harapan dan Kenyataan
Menuju 2026, waktu semakin sempit. Target swasembada energi dan lifting migas adalah tantangan besar, namun bukan mustahil. Dibutuhkan kerja sama lintas sektor, kepemimpinan politik yang kuat, dan eksekusi lapangan yang cepat dan tepat.
Indonesia punya semua potensi: cadangan migas, SDM berpengalaman, dan pasar domestik besar. Yang dibutuhkan adalah kebijakan konsisten, tata kelola yang transparan, dan keberanian untuk berinovasi.
Jika semua elemen bekerja secara sinergis, mimpi swasembada energi bukan lagi ilusi, melainkan kenyataan yang dapat dibanggakan oleh seluruh bangsa.