
Jakarta, 23 Juli 2025 — Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2025 yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, menjadi momen penting bagi para wakil rakyat dan pemangku kepentingan untuk kembali menegaskan komitmen perlindungan anak di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan sebuah usulan strategis berupa penerapan kurikulum pendidikan seks yang difokuskan pada pencegahan kekerasan seksual atau pencabulan pada anak-anak, khususnya di lingkungan sekolah.
Usulan ini muncul sebagai respons atas tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di berbagai daerah Indonesia, yang telah mengundang keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan masyarakat dan lembaga perlindungan anak. Melalui kurikulum tersebut, DPR berharap pendidikan di sekolah tidak hanya menjadi ajang transfer ilmu pengetahuan akademik semata, namun juga menjadi sarana edukasi preventif agar anak-anak lebih memahami pentingnya menjaga diri dari tindakan kekerasan seksual.
Latar Belakang Usulan Kurikulum Pencegahan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan masalah serius dan kompleks yang telah berlangsung lama di Indonesia. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, jumlah laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan. Tidak sedikit kasus yang terjadi bahkan di lingkungan sekolah — tempat yang seharusnya aman dan nyaman bagi anak.
Menurut laporan Kepolisian RI, dari total laporan kekerasan terhadap anak yang masuk, sebagian besar korban berusia antara 7 hingga 17 tahun, yang artinya mereka masih dalam jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Kondisi ini menjadikan sekolah sebagai titik krusial bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Merespon kondisi tersebut, DPR melalui Komisi X yang membidangi pendidikan dan kebudayaan, mengusulkan agar kurikulum pendidikan di sekolah memasukkan materi pendidikan seks yang edukatif, komprehensif, dan berbasis pada nilai budaya lokal. Hal ini bertujuan agar anak-anak tidak hanya mendapatkan pemahaman akademik, tetapi juga pengetahuan dan kesadaran untuk melindungi diri dan mengenali batasan tubuh secara tepat.
Pernyataan Wakil Ketua Komisi X DPR RI
Dalam acara peringatan Hari Anak Nasional 2025, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, memberikan penjelasan mendalam mengenai tujuan dan urgensi kurikulum pendidikan seks ini. Ia menekankan bahwa pendidikan seks yang diajukan bukanlah materi yang bersifat vulgar atau membuka peluang anak untuk belajar hal negatif. Sebaliknya, ini merupakan edukasi yang memberikan pemahaman tentang hak anak atas tubuh mereka sendiri, cara mengenali perlakuan yang tidak pantas, serta langkah yang harus diambil bila menghadapi situasi berbahaya.
“Kurikulum ini sangat penting diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar agar anak-anak mampu mengenali perlakuan yang tidak pantas dan berani melaporkan jika mengalami kekerasan,” ujar Lalu Hadrian dalam sambutannya, Rabu (23/7), di Jakarta. Ia menambahkan bahwa edukasi sejak dini dapat mencegah terjadinya trauma berkepanjangan dan melindungi generasi muda dari bahaya kekerasan seksual.
Penyesuaian Kurikulum dengan Nilai dan Budaya Lokal
Salah satu aspek utama yang menjadi perhatian DPR dalam menyusun kurikulum ini adalah penyesuaian dengan nilai budaya dan norma masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, mengungkapkan bahwa keberagaman budaya dan agama di Indonesia harus menjadi acuan agar materi pendidikan seks dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas tanpa menimbulkan resistensi atau kontroversi yang tidak perlu.
Menurut Hetifah, pendidikan seks yang tepat harus menekankan pentingnya tanggung jawab moral dan sosial, risiko dari aktivitas seksual yang dilakukan terlalu dini, serta urgensi untuk menunda aktivitas seksual sampai anak mencapai kedewasaan yang matang secara emosional dan mental. Kurikulum ini juga diharapkan dapat mengajarkan konsep relasi yang sehat dan saling menghormati.
Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Mendukung Kurikulum
Tidak hanya sekolah, peran serta orang tua dan masyarakat juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan implementasi kurikulum pencegahan kekerasan seksual ini. Damayanti, anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur, mengingatkan bahwa pendidikan seks tidak bisa hanya diserahkan pada lembaga pendidikan saja.
“Orang tua harus dilibatkan secara aktif melalui pelatihan dan sosialisasi agar mereka mampu mendukung materi yang diajarkan di sekolah dan dapat berdialog dengan anak-anak mereka mengenai topik yang kadang dianggap tabu ini,” ujar Damayanti saat diskusi panel di Jakarta, Kamis (24/7).
Ia menegaskan bahwa sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat luas harus terus dibangun agar pendidikan seks tidak menjadi beban bagi anak-anak, melainkan menjadi bekal yang melindungi mereka dari ancaman kekerasan seksual.
Tantangan Implementasi Kurikulum dan Upaya yang Diperlukan
Meski usulan penerapan kurikulum ini mendapat sambutan positif, tidak bisa dipungkiri bahwa tantangan dalam implementasinya juga cukup besar. Salah satu kendala utama adalah masih adanya stigma dan tabu yang melekat dalam masyarakat Indonesia ketika membahas topik pendidikan seksual secara terbuka.
Selain itu, kualitas tenaga pendidik yang mampu menyampaikan materi secara tepat dan sensitif menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan khusus bagi guru dan tenaga pendidik agar mereka tidak hanya memahami materi, tetapi juga mampu menyampaikan dengan cara yang sesuai dengan psikologi anak dan nilai budaya setempat.
Perlu pula disiapkan modul pembelajaran yang berjenjang dan terukur, disesuaikan dengan usia dan tingkat pemahaman siswa, agar materi dapat diterima dengan baik tanpa menimbulkan kebingungan atau salah tafsir.
Harapan ke Depan: Melindungi Generasi Muda Indonesia
Langkah DPR mengusulkan kurikulum pencegahan kekerasan seksual di sekolah diharapkan dapat menjadi terobosan dalam rangka melindungi anak-anak Indonesia dari risiko kekerasan seksual yang semakin mengkhawatirkan. Dengan edukasi yang tepat dan didukung oleh norma budaya serta peran aktif keluarga dan masyarakat, anak-anak diharapkan dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara fisik, mental, dan emosional.
Pendidikan seks yang terintegrasi dalam kurikulum nasional juga dapat memperkuat kesadaran masyarakat luas akan pentingnya perlindungan anak, sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya kekerasan seksual yang sering kali terjadi dalam diam.
Kesimpulan
Peringatan Hari Anak Nasional 2025 yang berlangsung di Jakarta menjadi momentum strategis bagi DPR untuk menyampaikan usulan penting terkait perlindungan anak melalui kurikulum pendidikan seks yang preventif. Pendekatan yang sensitif terhadap nilai budaya dan melibatkan partisipasi aktif orang tua serta masyarakat merupakan kunci keberhasilan implementasi kurikulum ini.
Langkah ini bukan sekadar kebijakan formal, melainkan sebuah upaya konkret untuk memastikan anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, terlindungi, dan mampu menghadapi berbagai tantangan masa depan dengan percaya diri.