Kathmandu, Mata4.com – Nepal tengah menghadapi krisis politik dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyusul pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli dan tidak aktifnya Presiden Ram Chandra Paudel di tengah gelombang protes besar-besaran yang berlangsung sejak awal September 2025.
Demonstrasi yang dipimpin oleh kelompok anak muda, khususnya generasi Z, pecah di sejumlah kota besar setelah pemerintah memberlakukan larangan terhadap puluhan platform media sosial. Kebijakan ini dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan menjadi pemicu utama kemarahan publik.
Kekosongan Kepemimpinan Politik dan Dampak Langsungnya
Perdana Menteri Oli secara resmi mengundurkan diri pada 9 September 2025 setelah tekanan politik dan publik yang terus membesar. Dalam pernyataan singkatnya, ia menyebut keputusan itu diambil demi “menghindari pertumpahan darah lebih lanjut” dan berharap situasi bisa kembali kondusif.
Pengunduran diri ini meninggalkan kekosongan yang signifikan dalam sistem pemerintahan Nepal. Sementara itu, Presiden Ram Chandra Paudel mengalami kondisi yang juga tidak memungkinkan untuk menjalankan tugasnya secara penuh. Kediaman resmi Presiden bahkan sempat menjadi sasaran serangan oleh massa yang marah, dengan laporan kebakaran yang melanda beberapa bagian kompleksnya.
Kondisi ini menciptakan kekosongan kepemimpinan formal yang belum pernah dialami Nepal sejak transisi menuju demokrasi di awal abad 21. Kekosongan tersebut berdampak langsung pada stabilitas politik dan operasional pemerintahan, termasuk tertundanya sejumlah program penting dan pengambilan keputusan strategis.
Tentara Nepal Diterjunkan, Siap Amankan Situasi
Dalam situasi krisis ini, militer Nepal mengerahkan pasukannya ke berbagai titik strategis di ibu kota Kathmandu dan kota-kota lainnya. Tentara melakukan patroli rutin di jalan-jalan utama dan memberlakukan jam malam tanpa batas waktu guna meredam kekerasan dan menjaga ketertiban umum.
Juru bicara militer, Mayor Jenderal Ramesh Adhikari, menegaskan bahwa kehadiran tentara tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kekuasaan politik, melainkan sebagai langkah darurat untuk menjaga keamanan warga dan infrastruktur vital negara.
“Kami bertugas memastikan keamanan dan mengembalikan ketertiban. Militer menghormati konstitusi dan demokrasi Nepal. Kami hanya hadir untuk mencegah kekacauan dan kekerasan lebih lanjut,” ujarnya saat konferensi pers.
Langkah ini disambut dengan berbagai reaksi. Sebagian warga merasa lega dengan kehadiran tentara yang menenangkan situasi, sementara sebagian lainnya khawatir bahwa militer bisa menggunakan krisis ini untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
Pemicu Kerusuhan: Larangan Media Sosial yang Kontroversial
Larangan pemerintah terhadap puluhan platform media sosial, termasuk TikTok, Facebook, Instagram, dan WhatsApp, menjadi pemicu utama kerusuhan. Pemerintah menyatakan kebijakan ini diterapkan untuk mengendalikan penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, dan provokasi yang dapat memicu konflik sosial.
Namun, banyak pihak, terutama kaum muda dan aktivis HAM, melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk sensor dan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan akses informasi.
Seorang mahasiswa, Sudan Gurung, yang menjadi salah satu tokoh protes mengatakan:
“Larangan ini seperti menutup mulut kami. Media sosial adalah cara kami berkomunikasi dan menyuarakan aspirasi. Kebijakan ini membuat kami merasa dikekang dan diabaikan.”
Kemarahan publik juga diperparah oleh masalah lama seperti korupsi, nepotisme, dan tingginya tingkat pengangguran, terutama di kalangan generasi muda. Protes ini pun berkembang menjadi tuntutan untuk reformasi politik menyeluruh dan penggantian elit lama yang dianggap gagal memenuhi harapan rakyat.
Kekerasan dan Korban Jiwa dalam Demonstrasi
Awalnya protes berjalan damai, namun ketegangan meningkat ketika aparat keamanan mencoba membubarkan massa dengan gas air mata dan peluru karet. Bentrokan yang terjadi menyebabkan 19 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka, menurut data terbaru dari organisasi kemanusiaan lokal.
Kerusuhan juga menyebabkan sejumlah fasilitas umum dan kantor pemerintah rusak berat. Beberapa kendaraan dibakar, kantor partai politik diserang, dan terdapat laporan penjarahan di beberapa area.
Dampak sosial ekonomi mulai terasa dengan penutupan Bandara Internasional Tribhuvan selama beberapa hari. Penerbangan dialihkan ke bandara terdekat di India, termasuk New Delhi dan Lucknow, mengganggu mobilitas dan perekonomian.
Krisis Politik: Ketidakpastian Masa Depan Nepal
Belum ada kepastian soal siapa yang akan menggantikan posisi Perdana Menteri. Partai-partai utama di Nepal masih belum mencapai kesepakatan untuk mengisi kekosongan ini. Sidang darurat parlemen belum juga digelar karena kondisi keamanan yang belum stabil.
Beberapa menteri pemerintah bahkan mengundurkan diri, menambah ketidakpastian di tubuh pemerintahan. Pejabat tinggi pun dievakuasi dengan helikopter untuk menghindari ancaman kekerasan dari massa.
Para pengamat politik menyoroti risiko situasi ini dimanfaatkan oleh kekuatan non-sipil, termasuk militer, yang bisa memperpanjang masa ketidakstabilan jika proses transisi tidak berjalan cepat dan transparan.
Seruan Internasional dan Harapan Dialog Damai
Berbagai lembaga internasional, termasuk PBB dan organisasi hak asasi manusia, telah mengeluarkan pernyataan mendesak seluruh pihak di Nepal untuk menahan diri dan mengedepankan dialog sebagai jalan keluar krisis.
UN Human Rights Office menekankan pentingnya menghormati hak-hak sipil dan politik serta menentang segala bentuk kekerasan. Negara-negara tetangga juga menyatakan keprihatinan mereka, dengan India sebagai sekutu dekat Nepal menawarkan dukungan untuk stabilitas dan proses demokrasi.
Kesimpulan: Menuju Solusi Damai dan Demokratis
Nepal berada di titik kritis dalam sejarahnya. Krisis kepemimpinan yang terjadi merupakan panggilan mendesak bagi seluruh elemen bangsa untuk bersatu dan mencari solusi yang berdasarkan dialog, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Peran militer sebagai penjaga keamanan harus dijaga agar tetap dalam koridor konstitusi dan demokrasi, tanpa menjadi penguasa politik.
Keberhasilan Nepal keluar dari krisis ini sangat bergantung pada kemampuan para pemimpin dan rakyatnya untuk bekerja sama membangun masa depan yang inklusif dan berkeadilan.

