Jakarta, 16 Juli 2025 — Pemerintah Indonesia kembali menyoroti rencana pembangunan jalur kereta cepat Jakarta–Surabaya, proyek strategis yang diharapkan dapat mengubah wajah transportasi darat di Pulau Jawa. Dalam kajian terbaru, dua teknologi unggulan dunia menjadi kandidat utama: Maglev Shanghai dari Tiongkok dan Shinkansen dari Jepang.
Kedua teknologi ini memiliki reputasi internasional sebagai sistem transportasi tercepat dan paling andal. Namun, perbedaan mendasar dalam segi infrastruktur, biaya, efisiensi, dan kesiapan teknologi membuat keputusan ini menjadi salah satu yang paling kompleks dalam sejarah transportasi Indonesia.
PROYEK TRANSPORTASI MASA DEPAN
Pembangunan jalur kereta cepat Jakarta–Surabaya merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan populasi terbesar di Indonesia.
Dengan panjang rute sekitar 700 kilometer, saat ini perjalanan kereta reguler bisa memakan waktu antara 9 hingga 11 jam, tergantung jenis layanan. Kehadiran kereta cepat diproyeksikan memangkas waktu tempuh menjadi di bawah 4 jam, sehingga memberikan dampak besar terhadap mobilitas masyarakat, efisiensi logistik, dan pemerataan pembangunan.
OPSI 1: MAGLEV SHANGHAI – KECEPATAN SUPERSONIK
Teknologi Maglev (magnetic levitation) adalah sistem transportasi rel tanpa roda yang menggunakan gaya elektromagnetik untuk mengangkat dan menggerakkan kereta. Ini memungkinkan kecepatan yang sangat tinggi dengan gesekan yang nyaris nol.
Kereta Maglev Shanghai saat ini menjadi yang tercepat di dunia, dengan kecepatan komersial mencapai 431 km/jam, dan prototipe barunya diklaim mampu melaju hingga 600 km/jam. Jika diterapkan di Indonesia, Maglev berpotensi memangkas waktu Jakarta–Surabaya menjadi sekitar 1,5 jam saja.
Namun, di balik keunggulan kecepatannya, terdapat sejumlah tantangan besar:
- Infrastruktur baru: Maglev membutuhkan jalur eksklusif yang sama sekali baru karena tidak kompatibel dengan rel konvensional.
- Biaya tinggi: Pembangunan jalur Maglev diperkirakan mencapai dua hingga tiga kali lipat dari kereta cepat biasa.
- Kompleksitas teknologi dan pemeliharaan: Teknologi ini masih tergolong baru secara global dan membutuhkan keahlian tinggi untuk perawatan.
- Risiko keterbatasan pasokan suku cadang jika sangat bergantung pada satu negara.
Tiongkok, melalui perusahaannya seperti CRRC dan China Railway Group, menyatakan kesiapannya untuk membantu pendanaan, teknologi, hingga transfer keahlian jika Indonesia memilih Maglev.
OPSI 2: SHINKANSEN – STABIL, TERUJI, DAN TERINTEGRASI
Sementara itu, Shinkansen Jepang hadir sebagai alternatif yang lebih realistis dan teruji. Sejak dioperasikan pertama kali pada tahun 1964, kereta peluru ini telah membawa lebih dari 10 miliar penumpang tanpa satupun kecelakaan fatal. Shinkansen dikenal luas karena ketepatan waktu, keamanan ekstrem, dan stabilitas teknologi.
Beberapa tipe Shinkansen modern seperti N700S mampu melaju hingga 320 km/jam, cukup untuk memangkas waktu Jakarta–Surabaya menjadi sekitar 3 jam 30 menit.
Keunggulan Shinkansen mencakup:
- Kompatibilitas sebagian infrastruktur: Jalur bisa dibangun berdampingan atau memanfaatkan koridor eksisting.
- Efisiensi energi dan emisi karbon yang rendah.
- Rekam jejak keselamatan tertinggi di dunia.
- Transfer teknologi dan pelatihan SDM.
Jepang juga menawarkan skema kerja sama jangka panjang, termasuk pelatihan tenaga ahli lokal dan peluang ekspor teknologi untuk wilayah Asia Tenggara.
PERTIMBANGAN PEMERINTAH: TEKNOLOGI ATAU REALISME?
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam konferensi pers terbaru mengatakan bahwa pemerintah belum mengambil keputusan akhir. “Kita sedang melakukan kajian mendalam, baik dari segi teknis, biaya investasi, keberlanjutan, dampak lingkungan, serta pengaruh terhadap ekonomi nasional dan daerah.”
Kementerian Perhubungan bersama Kementerian BUMN dan Bappenas tengah menyusun studi kelayakan tahap akhir, termasuk kemungkinan skema pembiayaan berbasis kemitraan pemerintah-swasta (PPP). Pemerintah ingin menghindari pembengkakan anggaran seperti yang terjadi pada proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
Pemerintah juga memprioritaskan aspek lokalitas: apakah teknologi yang dipilih mampu menyerap tenaga kerja domestik, menggunakan material dalam negeri, serta memberikan dampak ekonomi jangka panjang bagi kota-kota sepanjang koridor.
PANDANGAN AHLI: BUTUH SOLUSI JANGKA PANJANG
Beberapa pakar transportasi menyarankan agar pemerintah lebih menekankan pada keberlanjutan dan efisiensi operasional daripada sekadar mengejar rekor kecepatan.
“Maglev memang mengesankan dari segi teknologi, tapi pertanyaannya: apakah kita siap dengan biaya, operasional, dan pemeliharaannya selama puluhan tahun?” kata Dr. Andika Pratama, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia. “Shinkansen lebih terbukti, matang, dan lebih mudah diadopsi di kondisi geografis Indonesia.”
Pendapat serupa disampaikan oleh INSTRAN (Institut Studi Transportasi Nasional) yang mendorong pendekatan berbasis kebutuhan dan skenario pertumbuhan jangka panjang, bukan sekadar euforia teknologi tinggi.
MENUJU MASA DEPAN TRANSPORTASI INDONESIA
Pembangunan kereta cepat Jakarta–Surabaya bukan hanya soal memilih teknologi, melainkan keputusan strategis yang akan membentuk wajah Indonesia selama puluhan tahun ke depan. Kedua opsi memiliki nilai tersendiri — Maglev menjanjikan masa depan dengan kecepatan luar biasa, sementara Shinkansen menawarkan stabilitas dan keberlanjutan yang telah terbukti.
Pemerintah diharapkan segera menyelesaikan kajian dan menyampaikan hasil final kepada publik. Apapun pilihannya, proyek ini akan menjadi tonggak penting menuju transformasi transportasi modern di Indonesia — dari era lambat menuju era cepat dan terintegrasi.
