Jakarta, Mata4.com – Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara (Untar), Hery Firmansyah, menilai dugaan mark-up proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang kini bernama Whoosh berpotensi masuk ranah pidana apabila terbukti menimbulkan keuntungan pribadi atau menyebabkan kerugian negara.
“Bagi mereka yang kemudian pengambil kebijakan, jika ditemukan adanya tindak pidana seperti memperoleh kickbacks atau unsur lain dalam korupsi, misalnya merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak tertentu secara pribadi, tentu dapat dijerat dengan pasal pidana oleh aparat penegak hukum,” ujar Hery kepada Inilah.com, Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, indikasi tindak pidana akan semakin kuat apabila proyek tersebut terbukti menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Jika dalam perjalanannya ada sumber pendanaan dari APBN, maka penegak hukum memiliki dasar yang kuat untuk melakukan penindakan,” tambahnya.
KPK Dinilai Perlu Bertindak Cepat
Terkait desakan publik agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan tanpa menunggu laporan resmi, Hery menyebut langkah tersebut perlu disesuaikan dengan ketersediaan bukti awal.
“Sejauh ini isu tersebut baru menjadi diskusi publik. Belum ada tanda-tanda akan dinaikkan ke tahap penyidikan. Mungkin aparat penegak hukum ingin memastikan apakah memang ada mens rea (niat jahat) dan kerugian negara yang nyata,” jelasnya.
Meski demikian, ia memahami kekhawatiran publik bahwa menunggu bukti kerugian negara justru bisa membuat potensi penyimpangan kian sulit dilacak. Namun, Hery mengingatkan bahwa prosedur hukum tetap harus dijalankan dengan hati-hati.
Ekonom Kritik Sikap KPK
Sementara itu, Managing Editor Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mempertanyakan sikap KPK yang dinilai terlalu pasif dalam merespons dugaan mark-up proyek KCJB.
Menurut Anthony, potensi penggelembungan biaya proyek kereta cepat tersebut sangat besar, bahkan bisa mencapai 20–60 persen dari total anggaran.
“Sejak awal, proyek KCJB sepanjang 142,3 kilometer itu sarat masalah dan dugaan korupsi. Sangat aneh kalau KPK masih mempertanyakannya,” ujar Anthony di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Ia menilai komisioner KPK saat ini perlu dievaluasi jika masih menunggu laporan masyarakat terhadap dugaan korupsi yang disebutnya “terbentang jelas di depan mata.”

Indikasi Penggelembungan Biaya
Anthony menjelaskan, indikasi mark-up proyek KCJB terlihat sejak awal perubahan arah kerja sama dari Jepang ke China pada 2016.
“Dugaan kuat, proposal Jepang hanya dimanfaatkan untuk mengatrol harga proyek China,” ujarnya.
Awalnya, China menawarkan proyek senilai US$5,5 miliar, lalu naik menjadi US$6,02 miliar, mendekati penawaran Jepang sebesar US$6,2 miliar. Proposal Jepang akhirnya digugurkan karena meminta jaminan APBN, sedangkan China tidak.
Namun, janji proyek business-to-business (B2B) tanpa beban APBN itu berubah setelah Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, yang membuka peluang pendanaan proyek dari APBN.
Perubahan itu kemudian diikuti oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 yang diteken Sri Mulyani Indrawati, memperbolehkan pemberian penjaminan pemerintah terhadap proyek KCJB.
Publik Minta Transparansi
Anthony menilai perubahan regulasi tersebut membuktikan adanya ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan proyek strategis nasional.
“Kini semuanya terbukti bohong besar. Awalnya proyek KCJB tidak dibiayai APBN, akhirnya ditanggung APBN juga. Biaya proyek kereta cepat ini terus disuntik APBN,” tegasnya.
Publik pun mendesak pemerintah dan KPK untuk membuka hasil audit menyeluruh terhadap proyek KCJB agar transparansi dan akuntabilitas anggaran bisa terjaga.
