
Jakarta, Mata4.com — Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang seharusnya menjadi penopang ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah justru menuai sorotan tajam. Sebuah laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap bahwa bantuan ini tidak sepenuhnya diterima oleh mereka yang membutuhkan.
Yang mengejutkan, sejumlah pegawai BUMN, dokter, hingga eksekutif perusahaan ternyata ikut tercatat sebagai penerima bantuan. Temuan ini sontak memicu perdebatan luas dan menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa bantuan untuk masyarakat kecil justru jatuh ke tangan orang-orang berpenghasilan tinggi?
Data Mengejutkan dari PPATK: Salah Sasaran dalam Skala Besar
Laporan resmi dari PPATK menyebutkan bahwa dari sekitar 10 juta rekening penerima bansos yang mereka analisis, terdapat sekitar 1,7 juta rekening yang tidak terverifikasi sebagai penerima sah. Bahkan, lebih dari 56 rekening diketahui memiliki saldo fantastis—di atas Rp 50 juta—namun tetap mendapatkan bansos. Fakta ini langsung menimbulkan tanda tanya besar terkait proses seleksi dan distribusi bansos.
Lebih mengejutkan lagi, dari temuan PPATK juga diketahui:
- 27.932 pegawai BUMN masuk dalam daftar penerima bantuan.
- 7.479 dokter juga turut menerima BSU, meski secara penghasilan seharusnya tidak memenuhi syarat.
- Lebih dari 6.000 orang berstatus eksekutif atau manajer terdaftar sebagai penerima.
Padahal, BSU dirancang untuk membantu pekerja dengan penghasilan rendah yang terdampak pandemi, inflasi, dan ketidakpastian ekonomi global. Temuan ini menjadi bukti bahwa kebocoran dalam sistem distribusi bukan hanya isapan jempol belaka.
Puan Maharani Angkat Suara: “Verifikasi Itu Harga Mati”
Menanggapi kegaduhan ini, Ketua DPR RI Puan Maharani langsung angkat bicara. Dalam pernyataannya, ia mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah dalam menyalurkan bantuan sosial. Menurutnya, verifikasi dan validasi data penerima adalah fondasi utama agar bantuan bisa tepat sasaran.
“Saya tetap berharap, mengimbau, bahkan meminta, bahwa verifikasi data itu hal paling penting. Jangan sampai yang menerima bantuan justru orang yang tidak berhak,” ujar Puan dalam keterangan resminya di Jakarta.
Sebagai mantan Menko PMK, Puan menyoroti pentingnya koordinasi antarinstansi dan integrasi sistem data sebagai kunci utama agar distribusi bansos berjalan dengan baik. Menurutnya, data yang akurat, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan sosial.
Bagaimana Ini Bisa Terjadi?
Salah satu akar masalah yang mencuat adalah ketidaksinkronan antar database nasional. Saat ini, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Kementerian Sosial belum sepenuhnya terintegrasi dengan data BPJS Ketenagakerjaan, data pajak, maupun data kepegawaian dari instansi pemerintah.
Akibatnya, ada keterlambatan dalam mencatat perubahan status ekonomi seseorang. Misalnya, seseorang yang dulunya berpenghasilan rendah dan terdaftar di DTKS bisa saja kini sudah menjadi pegawai BUMN atau memiliki bisnis sendiri, namun data lamanya belum diperbarui.
Selain itu, beberapa pihak menyebut adanya potensi penyalahgunaan atau kelalaian dalam proses seleksi penerima di tingkat daerah maupun pusat. Hal ini yang membuat banyak pihak mendorong adanya evaluasi total terhadap sistem pendataan bansos.

www.service-ac.id
Respons Pemerintah: Pencoretan Massal dan Verifikasi Ulang
Kementerian Sosial menyatakan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti temuan PPATK dengan memverifikasi ulang seluruh data penerima bantuan. Hasilnya, sebanyak 228 ribu penerima bansos telah dicoret karena tidak memenuhi syarat, termasuk mereka yang terindikasi memiliki penghasilan tinggi atau bahkan terlibat dalam aktivitas ilegal seperti judi online.
“Kami juga sedang melakukan ground-checking ke lapangan agar data yang kami miliki benar-benar valid,” ujar salah satu pejabat Kemensos.
Proses pemutakhiran data ini menjadi prioritas menjelang penyaluran bansos tahap berikutnya. Pemerintah juga menggandeng lembaga keuangan, BPJS, serta pemerintah daerah untuk mempercepat integrasi data dan menghindari kesalahan serupa di masa depan.
Harapan ke Depan: Keadilan Sosial Harus Ditegakkan
Kasus ini menjadi pengingat kuat bahwa dalam program bantuan sosial, niat baik saja tidak cukup. Tanpa sistem data yang kuat, bantuan yang ditujukan untuk rakyat kecil bisa bocor ke tangan yang salah.
Imbauan Puan Maharani patut menjadi perhatian serius seluruh pihak: bahwa verifikasi dan validasi data bukan sekadar prosedur administratif, melainkan penentu apakah keadilan sosial benar-benar diwujudkan atau hanya jadi slogan.
Puan juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bansos. Dengan begitu, rakyat bisa percaya bahwa pemerintah bekerja demi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Penutup
Ketika bantuan sosial seperti BSU salah sasaran, yang jadi korban bukan hanya keuangan negara, tapi jutaan rakyat kecil yang benar-benar membutuhkan uluran tangan pemerintah. Temuan PPATK dan seruan Puan Maharani harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah.
Kini saatnya memastikan bahwa setiap rupiah bantuan yang dikucurkan benar-benar sampai ke tangan yang tepat. Karena dalam setiap program sosial, data yang benar adalah nyawa dari keadilan itu sendiri.