Bekasi, Mata4.com – Indonesia merupakan salah satu negara dengan produksi tebu terbesar di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan publikasi “Statistik Tanaman Perkebunan Semusim Indonesia 2024 (Tebu dan Tembakau)” yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa luas perkebunan tebu nasional mencapai 520,82 ribu hektare.
Di antara wilayah penghasil tebu nasional, Provinsi Lampung menjadi salah satu daerah dengan kontribusi terbesar. Provinsi ini memiliki 143,11 ribu hektare areal tebu, menempatkannya sebagai salah satu sentra gula nasional. Dari total luas tersebut, satu perusahaan mendominasi industri tebu di Lampung, yakni Sugar Group Companies (SGC).
Perusahaan Besar yang Menguasai Tebu Lampung
Sugar Group Companies merupakan perusahaan tebu raksasa yang berdiri sejak 1983 dan mulai beroperasi penuh pada 1987. Kini, SGC dikenal sebagai salah satu perusahaan gula terbesar di Indonesia, dengan penguasaan lahan lebih dari 75 ribu hektare di Lampung. Perusahaan ini juga telah mengembangkan beragam produk gula yang dikenal publik, terutama merek Gulaku.
SGC menaungi empat perusahaan besar di bawah operasinya, yaitu:
- PT Gula Putih Mataram
- PT Sweet Indo Lampung
- PT Indolampung Perkasa
- PT Indolampung Distillery
Keempat entitas tersebut menjadi pilar utama industri gula modern di Lampung dan berkontribusi besar pada produksi nasional.
Sosok Pemilik Sugar Group Companies
Di balik besarnya nama SGC, terdapat figur wanita yang cukup jarang muncul di publik: Purwaty (Purwanti) Lee Couhault, yang juga dikenal sebagai Nyonya Lee. Ia adalah pemilik SGC sejak awal berdiri pada 1983. Dalam operasionalnya, ia dibantu oleh saudaranya, Gunawan Yusuf, yang juga memegang peran krusial dalam pengembangan perusahaan.
SGC awalnya merupakan bagian dari Grup Salim. Namun pada tahun 2001, perusahaan tersebut diakuisisi oleh PT Garuda Panca Artha, perusahaan milik Gunawan Jusuf, sehingga kepemilikan dan pengelolaan beralih sepenuhnya kepada keluarga Lee–Yusuf.
Kontribusi Sosial: Sekolah dan Beasiswa Sugar Group
Selain fokus pada bisnis, Purwanti Lee dikenal memiliki perhatian besar terhadap pendidikan, terutama bagi karyawan dan masyarakat sekitar wilayah operasi SGC.
Melalui program SMA Sugar Group, perusahaan menyediakan pendidikan dengan fasilitas modern bagi karyawan tetap maupun musiman yang ingin melanjutkan pendidikan.
Tidak hanya itu, SGC juga memberikan program beasiswa penuh untuk lulusan SMA yang ingin melanjutkan studi di universitas ternama seperti UGM, UI, ITB, dan IPB. Beasiswa ini mencakup biaya kuliah, asrama, hingga uang saku.

Bagi lulusan yang memilih jalur vokasi, Purwanti Lee mendirikan Politeknik Sugar Group bekerja sama dengan ATMI Surakarta, serta SMK Otomotif khusus untuk anak-anak karyawan musiman dan harian.
Di tingkat dasar, ia juga mendirikan SD, SMP, dan SMA bagi warga sekitar kebun tebu. Tidak ketinggalan, ada pula beasiswa S1 bagi guru untuk kuliah di Universitas Terbuka dengan komitmen mengajar selama 10 tahun.
Lewat berbagai program tersebut, Sugar Group berusaha menunjukkan peran sosial melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia di sekitar wilayah perkebunan.
Kasus yang Menyeret Nama SGC
Di balik reputasi besarnya, Sugar Group Companies juga terseret dalam konflik panjang. Perseteruan antara SGC dan Marubeni Corporation telah berlangsung sejak tahun 1993. Akar kasus ini berawal dari utang yang timbul saat PT Sweet Indo Lampung, kala masih berada di bawah Grup Salim, memperoleh fasilitas pinjaman sebesar US$50 juta dan US$27,5 juta dari Marubeni Europe Plc.
Krisis moneter 1998 membuat pembayaran pinjaman terhambat. Akibatnya, aset-aset Grup Salim — termasuk Sweet Indo Lampung — dilelang oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan kemudian dibeli oleh PT Garuda Panca Artha.
Sejak berpindah kepemilikan, SGC dan pihak Marubeni terlibat sengketa hukum tentang tanggung jawab atas utang tersebut. Masalah ini berlanjut hingga ke Mahkamah Agung.
Kasus kembali memanas ketika Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung yang disidang atas perkara lain, memberikan kesaksian bahwa ia pernah menerima suap Rp70 miliar dari SGC. Dana tersebut disebut diberikan untuk mempengaruhi putusan sengketa perdata antara SGC dan Marubeni, masing-masing Rp50 miliar untuk tingkat kasasi dan Rp20 miliar pada tingkat peninjauan kembali (PK). Zarof menyebut nilai suap itu sebagai yang terbesar yang pernah ia terima.
Pengakuan tersebut membuat perhatian publik kembali tertuju pada Sugar Group Companies. Kejaksaan Agung kemudian memanggil para petinggi SGC dan melakukan penggeledahan di rumah Purwanti Lee setelah ia tidak memenuhi panggilan pemeriksaan.
Dengan luas lahan yang masif, kontribusi besar pada industri gula, dan berbagai program sosial, Sugar Group Companies tetap menjadi salah satu grup agribisnis paling berpengaruh di Indonesia. Namun, sorotan terhadap perusahaan ini kembali meningkat seiring dengan mencuatnya kembali kasus lama yang belum tuntas.
Industri gula nasional kini tidak hanya menyoroti produksi dan kontribusi ekonomi, tetapi juga transparansi dan integritas perusahaan-perusahaan besar yang menggerakkannya.
