
Jakarta, 25 Juli 2025 — Di tengah meningkatnya ancaman kebocoran data dan penyalahgunaan informasi pribadi di era digital, perlindungan data menjadi isu yang semakin krusial bagi pemerintah dan masyarakat. Amerika Serikat (AS) dan Indonesia (RI) sebagai dua negara dengan sistem hukum dan pendekatan berbeda memiliki kebijakan masing-masing terkait perlindungan data. Lantas, mana yang lebih unggul dalam menjaga privasi warganya?
Amerika Serikat: Pendekatan Sektoral dan Federal
Amerika Serikat dikenal dengan pendekatan sektoral dalam perlindungan data pribadi. Artinya, tidak ada satu undang-undang perlindungan data nasional yang menyeluruh seperti di Uni Eropa (dengan GDPR). Sebaliknya, perlindungan data diatur berdasarkan sektor, seperti:
- HIPAA untuk data kesehatan,
- GLBA untuk data keuangan,
- COPPA untuk data anak-anak,
- dan FTC Act untuk perlindungan konsumen secara umum.
Beberapa negara bagian, seperti California, memiliki aturan yang jauh lebih ketat melalui California Consumer Privacy Act (CCPA) yang memberikan hak lebih besar kepada konsumen atas data pribadi mereka.
Meski tidak seragam, standar perlindungan di AS terus berkembang, terutama karena tekanan dari masyarakat, tuntutan global, dan pertumbuhan perusahaan teknologi besar yang beroperasi lintas batas.
Indonesia: UU PDP, Langkah Besar Tapi Baru Dimulai
Indonesia baru saja memasuki era perlindungan data pribadi secara formal dengan pengesahan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini dianggap sebagai tonggak penting yang menandai komitmen pemerintah untuk melindungi hak privasi warga negara.
UU PDP mengadopsi banyak prinsip dari General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa, seperti:
- Hak akses dan koreksi atas data,
- Kewajiban persetujuan pemilik data,
- Sanksi administratif dan pidana,
- Pembentukan otoritas pengawas (lembaga baru yang akan mengatur dan menegakkan UU ini).
Namun, implementasi UU PDP masih dalam tahap transisi. Pemerintah memberikan waktu dua tahun bagi semua pihak untuk menyesuaikan diri, dan lembaga pengawas data pribadi pun belum sepenuhnya terbentuk secara operasional.
Mana yang Lebih Unggul?
Dalam hal pengalaman dan infrastruktur, AS jelas lebih dulu dan lebih matang dalam mengelola data digital, khususnya lewat sektor swasta yang sangat berkembang. Namun, pendekatan sektoral mereka kerap dikritik karena kurang memberikan perlindungan menyeluruh secara nasional, terutama di negara bagian yang belum punya regulasi spesifik.
Sebaliknya, Indonesia baru memulai, namun dengan UU PDP yang menyatukan berbagai aspek perlindungan dalam satu regulasi nasional, RI memiliki peluang untuk mengembangkan sistem yang kuat sejak awal—asal implementasinya dilakukan secara konsisten dan transparan.
Tantangan dan Peluang
Di AS, tantangan utamanya adalah harmonisasi antarnegara bagian dan keterbatasan regulasi federal. Sementara di Indonesia, tantangan mencakup:
- Kesiapan infrastruktur digital,
- Kurangnya kesadaran masyarakat,
- dan pengawasan yang masih lemah.
Namun, peluang besar terbuka bagi Indonesia untuk membangun kepercayaan publik terhadap dunia digital, menarik investasi teknologi, dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan data pribadi.
Kesimpulan
Jika ditanya “mana yang lebih baik?”, jawabannya tidak sesederhana itu. Amerika Serikat unggul dalam hal pengalaman dan pelaksanaan teknis, namun masih perlu reformasi regulasi menyeluruh. Indonesia, walaupun masih di tahap awal, memiliki dasar hukum yang lebih progresif secara nasional, dan berpotensi unggul dalam jangka panjang—jika diiringi implementasi yang konsisten dan pengawasan yang kuat.
Perlindungan data pribadi bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal budaya, kesadaran, dan komitmen jangka panjang dari pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.