Bekasi, Mata4.com – Revolusi industri 4.0 yang ditenagai oleh kecerdasan buatan (AI) sedang mengubah lanskap dunia kerja dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, di balik janji efisiensi dan produktivitas tinggi, ada ancaman besar yang tidak merata dampaknya. Fakta terbaru menunjukkan bahwa kelompok yang paling rentan terdampak oleh gelombang otomatisasi ini adalah perempuan.
Laporan yang dirilis The Independent pada Rabu (19/11) mengungkap kenyataan pahit: perempuan memiliki risiko dua kali lebih tinggi kehilangan pekerjaan akibat penetrasi AI dibandingkan laki-laki. Salah satu alasan utama adalah jenis pekerjaan yang selama ini didominasi perempuan. Sektor administratif, pembukuan, layanan kasir, dan posisi staf perkantoran merupakan contoh pekerjaan yang sangat mudah direplikasi oleh algoritma. Tugas-tugas repetitif berbasis data adalah lahan ideal bagi otomasi, yang dapat mengeksekusi pekerjaan dalam hitungan detik dengan akurasi tinggi. Ketika mesin bisa bekerja lebih cepat dan lebih konsisten, posisi manusia di sektor ini menjadi semakin rapuh.
Namun akar persoalan tidak berhenti pada jenis pekerjaan. Ada kesenjangan yang lebih dalam dan lebih sistemik: ketertinggalan dalam adopsi teknologi. Penelitian yang sama mencatat bahwa perempuan memiliki probabilitas 20 persen lebih kecil untuk menggunakan perangkat AI generatif dibandingkan laki-laki. Laporan lain bertajuk AI Gender Gap dari perusahaan konsultan global Credera menambah gambaran bahwa ketimpangan ini sudah berlangsung lama. Data mereka menunjukkan bahwa hanya 22 persen talenta AI global adalah perempuan. Artinya, perempuan tidak hanya terperangkap dalam pekerjaan yang rentan terdisrupsi, tetapi juga tertinggal dalam penguasaan alat yang menjadi pusat transformasi industri.

Heather Black, pendiri Supermumsāorganisasi sosial yang membantu memberdayakan perempuan di bidang teknologiāmemberikan peringatan keras. Menurutnya, perempuan, terutama para ibu bekerja, akan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kebangkitan AI. Fenomena ini, tegas Heather, merupakan sinyal bahaya yang harus segera direspons. AI adalah realitas yang tidak bisa dihindari; perubahan yang dibawanya tidak akan berhenti meskipun banyak orang belum siap.
Kondisi ini menegaskan urgensi upskilling bagi perempuan. Peningkatan keahlian digital bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk bertahan dalam dunia kerja yang semakin kompetitif. Menguasai cara kerja AI, memahami batas-batasnya, serta memanfaatkannya sebagai alat peningkat produktivitas adalah langkah penting agar perempuan tidak hanya menjadi penonton dalam revolusi teknologi, tetapi juga menjadi pemain utama.
Jika kesenjangan gender dalam penguasaan teknologi tidak segera dijembatani, dunia berpotensi menghadapi gelombang pengangguran struktural yang secara signifikan memukul kelompok perempuan. Transformasi digital sedang berlangsung, dan mereka yang tidak bersiap menghadapi perubahan ini berisiko tertinggal jauh. Bagi perempuan di seluruh dunia, kini adalah waktu yang paling tepat untuk mengakselerasi kemampuan, meraih peluang baru, dan memastikan bahwa masa depan dunia kerja tetap inklusif bagi semua.
