Bekasi, Mata4.com – Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, menunjukkan komitmen terhadap reformasi administrasi dengan berencana merevisi undang-undang remunerasi pegawai negeri, termasuk memangkas gaji anggota kabinet dan dirinya sendiri.
Langkah ini diumumkan Takaichi saat sidang luar biasa Parlemen, sebagai upaya nyata mewujudkan seruannya agar pejabat tinggi negara bersedia mengurangi keistimewaan fiskal mereka.
“Saya akan mengupayakan revisi undang-undang agar anggota kabinet tidak menerima bayaran yang melebihi gaji anggota parlemen,” kata Takaichi dalam konferensi pers pada Oktober lalu.
Penghapusan Tunjangan Tambahan
Reformasi ini menargetkan penghentian tunjangan tambahan yang selama ini diterima PM dan menteri di luar gaji pokok sebagai anggota parlemen. Saat ini, anggota parlemen menerima gaji bulanan 1,2 juta yen (sekitar Rp129,7 juta). Di luar itu, PM menerima tambahan sekitar 1,1 juta yen (Rp110 juta) dan menteri kabinet 489 ribu yen (Rp52,8 juta).

Sejak beberapa waktu lalu, Takaichi telah mengembalikan 30% gajinya setiap bulan, sedangkan menteri kabinet dipotong 20%. Rencana revisi undang-undang ini akan membuat pemotongan lebih permanen dan struktural, dengan pertimbangan mencantumkan dalam undang-undang bahwa tunjangan tambahan ditiadakan “untuk sementara waktu.”
Dukungan Koalisi dan Kritik
Langkah PM Takaichi mendapat dukungan dari Partai Inovasi Jepang (Nippon Ishin no Kai). Wakil pemimpin partai, Fumitake Fujita, menyebut kebijakan ini “luar biasa” dan memuji keberanian PM melaksanakan reformasi fiskal.
Namun, kebijakan ini juga menuai kritik dari Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP). Ketua DPP, Yuichiro Tamaki, menilai pemotongan gaji ini sebagai simbol pola pikir deflasi, sementara pemerintah seharusnya fokus meningkatkan pendapatan masyarakat untuk memulihkan daya beli.
Salah satu anggota kabinet yang masih menjabat menggambarkan suasana hati rekan-rekannya dengan singkat:
“Saya punya perasaan campur aduk.”
Langkah ini menegaskan dilema di lingkaran pemerintahan: apakah reformasi fiskal harus didahulukan sebagai contoh, ataukah fokus utama tetap pada pemulihan ekonomi rakyat.
