
Jakarta, Mata4.com — Sektor manufaktur Indonesia kembali mengalami tekanan berat. Pada bulan Juli 2025, indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat di level 49,2, menandai kontraksi keempat secara berturut-turut sejak April. Meskipun sedikit naik dibandingkan bulan sebelumnya, angka ini tetap berada di bawah ambang batas ekspansi (50,0), yang berarti aktivitas manufaktur nasional masih menyusut.
Apa Itu PMI dan Mengapa Penting?
PMI Manufaktur adalah indikator utama yang mengukur aktivitas ekonomi di sektor industri pengolahan. Indeks ini dihitung berdasarkan survei terhadap manajer pembelian di berbagai perusahaan, mencakup variabel seperti output produksi, pesanan baru, tenaga kerja, dan pengiriman.
- PMI di atas 50 menandakan ekspansi.
- PMI di bawah 50 menandakan kontraksi.
- PMI tepat di 50 menandakan stagnasi.
Dengan PMI Juli 2025 berada di 49,2, artinya sektor manufaktur Indonesia masih dalam fase penyusutan, meskipun lebih ringan dibanding bulan Juni yang sempat turun ke 46,9.
Penyebab Kontraksi: Kombinasi Tantangan Internal dan Eksternal
Beberapa faktor utama yang memicu dan memperparah penurunan kinerja manufaktur:
1. Permintaan Baru Melemah
Salah satu penyebab utama adalah penurunan permintaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyak pelaku industri melaporkan penurunan pesanan baru selama tiga bulan terakhir, seiring dengan:
- Lesunya konsumsi rumah tangga pasca Lebaran.
- Belum pulihnya daya beli masyarakat kelas menengah.
- Ketidakpastian pasar ekspor seperti China, Eropa, dan Timur Tengah akibat konflik geopolitik.
2. Biaya Produksi Tetap Tinggi
Meski inflasi bahan baku sudah mulai melandai, biaya produksi secara keseluruhan tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh:
- Nilai tukar rupiah yang melemah, membuat bahan baku impor menjadi lebih mahal.
- Kenaikan tarif logistik dan energi.
- Masih terbatasnya efisiensi dan otomasi di sektor manufaktur dalam negeri.
3. Efisiensi dan Penyesuaian Tenaga Kerja
Dampak kontraksi memaksa banyak perusahaan untuk menyesuaikan struktur biaya:
- Beberapa menunda pembelian bahan baku.
- Stok barang jadi dikurangi.
- Pengurangan jumlah tenaga kerja terjadi secara bertahap.
- Penyerapan tenaga kerja baru hampir terhenti, memperburuk kondisi pasar kerja nasional.

www.service-ac.id
Geopolitik Global: Bayangan Ketidakpastian
Situasi global juga memberikan tekanan tambahan. Ketegangan geopolitik seperti konflik di Laut Merah, konflik Iran–Israel–AS, dan kekhawatiran akan pemilu presiden AS turut memengaruhi:
- Kenaikan harga minyak dan biaya logistik.
- Gangguan rantai pasok global.
- Penurunan kepercayaan pasar.
Sektor industri pengolahan, yang sangat bergantung pada rantai pasok internasional, menjadi salah satu sektor yang paling rentan terhadap gejolak eksternal tersebut.
Dampak Langsung: Dunia Usaha Menahan Ekspansi
Penurunan PMI berdampak langsung pada:
- Keputusan investasi baru yang tertunda.
- Penggunaan kapasitas pabrik di bawah optimal.
- Tingkat utilisasi mesin dan alat berat turun.
- Rendahnya permintaan terhadap kredit modal kerja, menunjukkan bahwa pelaku industri masih wait-and-see.
Data ini juga memicu kekhawatiran akan penurunan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB nasional, yang selama ini menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Respon Pelaku Industri dan Ekonom
Banyak pelaku industri menyuarakan keprihatinan mereka atas situasi ini:
“Permintaan stagnan, bahan baku mahal, dan ketidakpastian kebijakan—kami serba terjepit,”
— Ujar salah satu CEO manufaktur tekstil di Jawa Barat.
Sementara itu, ekonom dari berbagai lembaga menyatakan bahwa kontraksi ini menjadi sinyal serius bagi pemerintah untuk segera memacu stimulus fiskal dan mempercepat belanja modal sektor industri.
Arah Perbaikan: Masih Ada Harapan?
Meskipun tren masih negatif, kenaikan indeks dari 46,9 (Juni) ke 49,2 (Juli) dianggap sebagai sinyal awal pemulihan, walau sangat tipis. Beberapa faktor yang bisa mendorong pemulihan ke zona ekspansi antara lain:
- Membaiknya kondisi konsumsi domestik pasca penyesuaian upah minimum.
- Stimulus sektor industri melalui pembebasan pajak dan subsidi bahan baku.
- Perbaikan ekspor jika konflik global mereda dan harga komoditas stabil.
Namun, tanpa langkah cepat dari pemerintah, pemulihan bisa terhambat atau bahkan gagal terjadi.
Kesimpulan
PMI Manufaktur Indonesia pada Juli 2025 berada di 49,2, mencerminkan kontraksi sektor industri pengolahan selama empat bulan berturut-turut. Ini menjadi alarm penting bagi pemangku kebijakan ekonomi untuk segera:
- Mengintervensi dengan stimulus fiskal.
- Mendorong reformasi industri.
- Mengamankan rantai pasok.
- Meningkatkan permintaan domestik.
Jika tidak, sektor industri bisa kehilangan momentumnya dan memperburuk kondisi ketenagakerjaan serta laju pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka menengah.