
Jakarta, Mata4.com – Setelah perjalanan panjang yang penuh dinamika, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kini siap untuk disahkan dalam sidang paripurna DPR RI. RUU ini merupakan salah satu regulasi terpenting yang akan membawa angin segar bagi jutaan umat Islam Indonesia yang menunggu momen untuk beribadah ke Tanah Suci.
RUU ini hadir dengan serangkaian perubahan besar, yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola, meningkatkan kualitas pelayanan, dan menjamin perlindungan hak jamaah haji dan umrah secara lebih menyeluruh. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam 10 poin utama dalam RUU tersebut, sekaligus mengupas latar belakang, urgensi, serta potensi dampak bagi masyarakat.
Latar Belakang dan Urgensi Pembaruan RUU Haji
Selama ini, penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia diatur oleh UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang berfokus pada pembentukan Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BP Haji). Namun, dengan kompleksitas yang semakin meningkat – mulai dari kuota jamaah yang terus membengkak, pergeseran dinamika sosial, hingga tantangan birokrasi dan teknologi – diperlukan regulasi baru yang lebih modern dan responsif.
Pandemi Covid-19 sempat mengguncang pelaksanaan haji global, memaksa banyak pembaruan sistem dan prosedur. Di sisi lain, teknologi digital berkembang pesat dan semakin banyak jamaah yang menuntut transparansi dan pelayanan yang lebih baik. Oleh sebab itu, RUU Haji dan Umrah disusun untuk mengakomodasi kebutuhan zaman serta memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi semua pihak.
1. Transformasi BP Haji Menjadi Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Strategis Modernisasi
Poin paling menonjol dalam RUU ini adalah pengalihan status BP Haji yang selama ini hanya lembaga non-kementerian menjadi sebuah kementerian baru bernama Kementerian Haji dan Umrah. Kepala lembaga diangkat menjadi menteri, sehingga posisinya sejajar dengan kementerian lain dalam kabinet.
Langkah ini dianggap strategis untuk memberikan kewenangan penuh, baik dari segi anggaran maupun kebijakan, bagi pelaksanaan haji dan umrah. Selama ini, kendala birokrasi dan keterbatasan kewenangan BP Haji dinilai menghambat respons cepat terhadap berbagai isu teknis dan administratif.
Dengan hadirnya kementerian khusus, koordinasi dengan Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta instansi terkait lainnya dapat berjalan lebih efektif. Menteri Haji dan Umrah juga dapat berperan aktif dalam negosiasi bilateral dengan Pemerintah Arab Saudi untuk memperjuangkan hak dan kenyamanan jamaah Indonesia.
2. Petugas Embarkasi Tidak Harus Beragama Islam, Tetapi di Arab Saudi Tetap Wajib
Dalam RUU baru, ada kebijakan baru yang memungkinkan petugas embarkasi yang bertugas di daerah dengan mayoritas non-Muslim tidak harus beragama Islam. Kebijakan ini dirancang agar pemerintah daerah di wilayah minoritas Muslim dapat lebih leluasa merekrut SDM terbaik untuk mendukung pelaksanaan haji.
Namun demikian, ketentuan ini tidak berlaku untuk petugas embarkasi di Arab Saudi, yang wajib beragama Islam. Hal ini karena petugas di Tanah Suci perlu memiliki pemahaman agama dan kemampuan komunikasi khusus agar jamaah dapat mendapatkan pelayanan maksimal dan menjalankan ibadah dengan baik.
Kebijakan ini sekaligus menjadi langkah inklusif yang memperkuat nilai toleransi dan kerjasama antar umat beragama dalam ranah penyelenggaraan haji.
3. Kuota Haji Kabupaten/Kota Kini Ditentukan Langsung oleh Menteri
Selama ini, alokasi kuota haji di tingkat kabupaten/kota diatur oleh gubernur melalui koordinasi dengan Kementerian Agama. Namun, RUU ini mengubah mekanisme tersebut dengan memberikan kewenangan penuh kepada Menteri Haji dan Umrah untuk menentukan pembagian kuota berdasarkan data akurat terkait kepadatan muslim, tingkat antrian, dan faktor teknis lainnya.
Perubahan ini diharapkan dapat mencegah ketimpangan kuota yang selama ini menimbulkan ketidakadilan, seperti daerah yang penduduk Muslimnya besar tapi kuota kecil, atau sebaliknya. Dengan mekanisme sentralisasi ini, diharapkan distribusi kuota lebih proporsional dan sesuai dengan kebutuhan riil.
4. Usulan Penurunan Usia Minimal Jamaah: Memberi Kesempatan Lebih Luas
Salah satu isu yang ramai dibicarakan dalam pembahasan RUU adalah soal batas usia minimal jamaah haji. Saat ini, batas usia minimal adalah 17 tahun, namun Panitia Kerja DPR mengusulkan penurunan batas ini menjadi sekitar 9 sampai 13 tahun, yang disesuaikan dengan usia akil baligh dalam Islam.
Tujuan usulan ini adalah memberikan kesempatan lebih luas bagi anak-anak dan remaja untuk berangkat haji bersama keluarga, selama kondisi kesehatan dan kesiapan mereka mendukung. Ini juga merupakan upaya untuk menyesuaikan aturan dengan praktik ibadah yang lebih inklusif.
Namun, usulan ini tentu memerlukan kajian mendalam terkait aspek kesehatan dan kesiapan fisik agar jamaah muda dapat menjalani ibadah dengan lancar.
5. Penataan Jumlah Petugas Daerah dan Peran Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU)
RUU juga mengatur penataan jumlah petugas yang berasal dari daerah serta memperjelas peran KBIHU. Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih tugas dan memastikan setiap jamaah mendapatkan bimbingan ibadah yang berkualitas.
KBIHU, yang selama ini berperan penting dalam membimbing jamaah secara teknis dan spiritual, akan tetap menjadi mitra strategis pemerintah. Dengan penataan yang lebih sistematis, pelaksanaan manasik dan bimbingan ibadah diharapkan menjadi lebih terorganisir, sesuai standar nasional dan internasional.
6. Pengawasan Ketat Terhadap Penyelenggara Haji dan Umrah (PIHK/PPIU)
Salah satu masalah yang kerap terjadi adalah adanya praktik overbooking, penipuan, dan penelantaran jamaah oleh beberapa Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang tidak bertanggung jawab.
RUU mengatur mekanisme pengawasan yang jauh lebih ketat, dengan penerapan sanksi hukum yang tegas bagi penyelenggara yang melanggar. Pemerintah juga akan memperkuat sistem verifikasi dan registrasi penyelenggara untuk memastikan mereka memenuhi standar pelayanan.
Pengawasan ini menjadi kunci agar jamaah merasa aman dan terlayani dengan baik sepanjang perjalanan ibadah.

www.service-ac.id
7. Inovasi Digital dan Standar Pelayanan Jamaah: Menuju Era Modernisasi
Berbagai usulan dari organisasi masyarakat seperti LDII menekankan pentingnya penerapan teknologi digital dalam penyelenggaraan haji dan umrah. RUU ini mendorong pengembangan aplikasi yang memungkinkan jamaah melakukan pendaftaran, pembelajaran manasik, pengaduan, hingga pemantauan kesehatan secara online.
Selain itu, RUU menetapkan standar minimum pelayanan, seperti kualitas akomodasi, kesehatan, hingga pendampingan spiritual selama perjalanan. Inovasi teknologi juga diharapkan dapat mempercepat proses administrasi dan meminimalisir kesalahan.
8. Transparansi Kuota dan Pengelolaan Keuangan Haji
Masalah jual beli kuota dan penyalahgunaan dana haji menjadi perhatian utama masyarakat. RUU mengamanatkan transparansi penuh atas pengelolaan dana haji, mulai dari pengumpulan, investasi, hingga penggunaan manfaatnya.
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) wajib menyampaikan laporan berkala yang dapat diakses oleh publik, khususnya jamaah haji. Hal ini bertujuan membangun kepercayaan jamaah dan memastikan hak-hak mereka terjaga dengan baik.
9. Perlakuan Prioritas bagi Jamaah Rentan
RUU mengatur perlindungan khusus bagi kelompok jamaah yang rentan, seperti lansia, penyandang disabilitas, dan mereka yang sudah lama mengantri keberangkatan. Mereka diberikan prioritas dalam pengaturan kuota, akses layanan kesehatan, hingga pendampingan selama ibadah.
Mekanisme ini adalah bentuk penghormatan dan perhatian khusus agar seluruh jamaah bisa menjalankan ibadah haji dengan tenang dan tanpa hambatan.
10. Jalur Hukum Cepat, Asuransi Syariah, dan Pendidikan Manasik Berbasis Teknologi
RUU memperkuat perlindungan hukum bagi jamaah melalui jalur penyelesaian sengketa yang cepat dan efektif. Jamaah yang merasa dirugikan dapat mengakses bantuan hukum tanpa berbelit-belit.
Selain itu, jamaah diwajibkan memiliki asuransi berbasis syariah yang akan memberikan perlindungan selama perjalanan. Untuk meningkatkan kesiapan jamaah, disarankan penggunaan teknologi seperti Virtual Reality (VR) dalam pendidikan manasik, sehingga jamaah bisa memahami tata cara ibadah secara lebih interaktif.
Proses Harmonisasi dan Dukungan Politik Menuju Paripurna
RUU Haji dan Umrah telah melewati proses harmonisasi dan sinkronisasi sejak pertengahan 2025, dan mendapat dukungan dari hampir semua fraksi di DPR. Sidang paripurna menjadi langkah terakhir sebelum pengesahan resmi, di mana semua pihak berharap RUU ini segera menjadi undang-undang.
Dukungan politik yang kuat ini mencerminkan kesadaran bersama akan pentingnya pembaruan tata kelola ibadah haji dan umrah demi kepentingan umat dan negara.
Dampak yang Diharapkan dari Pengesahan RUU
- Pelayanan Jamaah yang Lebih Profesional dan Terintegrasi
- Percepatan Penyelesaian Masalah dan Pengambilan Keputusan
- Peningkatan Perlindungan dan Hak Jamaah
- Optimalisasi Penggunaan Teknologi Digital dalam Pelayanan
- Penguatan Peran Pemerintah dan Pengawasan yang Transparan
Penutup: Harapan dan Tantangan ke Depan
Pengesahan RUU Haji dan Umrah menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa Indonesia dalam mengelola salah satu kewajiban agama terbesar umat Islam. Regulasi ini diharapkan tidak hanya menyelesaikan permasalahan klasik, tetapi juga membuka jalan bagi inovasi dan kemajuan yang berkelanjutan.
Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam implementasi lapangan yang memerlukan komitmen semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara, maupun masyarakat. Kesuksesan RUU ini akan sangat bergantung pada sinergi dan kerja keras bersama untuk mewujudkan ibadah haji yang lebih bermartabat dan penuh berkah.