
Morowali, Sulawesi Tengah, Mata4.com — Seorang pemuda berusia 19 tahun berinisial MR meregang nyawa secara mengenaskan setelah diduga dianiaya secara brutal oleh sekelompok orang, termasuk seorang anggota kepolisian aktif. Peristiwa ini terjadi di kawasan pertambangan Desa Labota, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, dan menggemparkan publik sejak awal Agustus 2025.
Ironisnya, tindakan main hakim sendiri yang menewaskan MR ini melibatkan oknum aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat, bukan justru melukai atau bahkan menghilangkan nyawa seseorang tanpa proses hukum.
Kronologi Kejadian: Dari Tuduhan hingga Maut
Menurut keterangan resmi dari kepolisian dan sejumlah saksi, kejadian bermula saat MR dituduh mencuri di kawasan tambang milik salah satu perusahaan swasta di Bahodopi. Belum sempat proses penyelidikan atau klarifikasi dilakukan, MR langsung ditangkap oleh beberapa orang yang terdiri dari tiga sekuriti perusahaan dan satu anggota polisi berinisial G.
Alih-alih diamankan secara prosedural dan diserahkan ke pihak berwenang untuk diperiksa, MR justru menjadi sasaran kekerasan. Ia dikeroyok secara membabi buta hingga mengalami luka serius. Nyawanya tak tertolong.
Kekerasan ini terekam dalam video yang sempat beredar di media sosial, memperlihatkan bagaimana korban dipukul dan ditendang berulang kali. Video tersebut sontak memicu kemarahan publik dan menuntut adanya keadilan bagi MR.
Polisi Bertindak: Tak Ada Toleransi bagi Kekerasan
Polda Sulawesi Tengah bergerak cepat setelah kasus ini mencuat ke publik. Keempat pelaku—termasuk oknum polisi G—telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan untuk menjalani proses hukum. Total, 18 saksi telah diperiksa, termasuk rekan-rekan pelaku dan karyawan perusahaan tempat kejadian berlangsung.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng, Kombes Didik Supranoto, menegaskan bahwa institusinya tidak akan menutup mata. “Kami akan menindak tegas. Jika pelanggaran pidana terbukti, proses pidana akan berjalan. Jika ada pelanggaran kode etik, akan ada sidang disiplin,” ujarnya.
Selain sanksi pidana, oknum polisi juga terancam diberhentikan secara tidak hormat (PTDH) jika terbukti bersalah dalam sidang etik nanti. Proses ini menunjukkan bahwa institusi kepolisian ingin menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk kekerasan dan penyalahgunaan wewenang dalam tubuh Polri.

www.service-ac.id
Pasal yang Dikenakan dan Ancaman Hukuman
Para pelaku dijerat dengan pasal berat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni:
- Pasal 170 ayat (2) tentang pengeroyokan yang menyebabkan kematian,
- jo Pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian,
- serta Pasal 55 ayat (1) yang mengatur tentang keterlibatan bersama dalam tindak pidana.
Ancaman hukuman maksimal dari gabungan pasal tersebut adalah 12 tahun penjara. Kejaksaan menyatakan siap mengawal proses hukum ini agar berjalan transparan dan adil.
Reaksi Masyarakat dan Seruan Keadilan
Kematian tragis MR menyulut emosi banyak pihak, terutama warga sekitar dan aktivis hak asasi manusia. Sejumlah organisasi sipil mendesak agar proses hukum tidak berhenti di penetapan tersangka saja, melainkan benar-benar membongkar apakah ada kelalaian sistemik yang turut memungkinkan kekerasan ini terjadi.
Keluarga korban, dalam wawancara dengan media lokal, mengaku hancur dan menuntut keadilan. “Kami tidak terima anak kami diperlakukan seperti binatang. Kalau dia bersalah, kenapa tidak diproses hukum? Kenapa harus dibunuh?” kata ayah MR dengan suara bergetar.
Peringatan Keras: Stop Main Hakim Sendiri
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa tindakan main hakim sendiri bukan hanya salah secara moral, tetapi juga kriminal. Tak peduli seberat apa pun dugaan pelanggaran seseorang, hanya hukum yang boleh menghukumnya—bukan amarah massa atau oknum aparat.
Polda Sulteng juga mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh hoaks dan menyerahkan segala proses ke jalur hukum. Kepolisian berkomitmen penuh menuntaskan kasus ini hingga ke akar-akarnya.
Penutup
Kasus kematian MR menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, namun sekaligus menjadi momen penting untuk kembali menegakkan prinsip dasar: bahwa keadilan tidak bisa ditegakkan dengan kekerasan. Harapan publik kini tertuju pada transparansi dan ketegasan aparat dalam mengadili para pelaku, tak peduli seragam apa yang mereka kenakan.