
Jakarta Selatan, Mata4.com — Di tengah sengketa lahan yang melibatkan kawasan elit Pondok Indah Golf, langkah tak biasa diambil oleh Polres Metro Jakarta Selatan. Di saat banyak pihak mendesak tindakan tegas, Polres justru menolak memasang police line—garis polisi yang kerap jadi simbol penegakan paksa di lapangan. Keputusan ini bukan karena melemah, tapi justru sebagai bentuk keberpihakan pada jalan tengah: dialog, ketertiban, dan supremasi hukum.
Latar Belakang: Sengketa di Jantung Jakarta Selatan
Kisruh ini bermula dari klaim sekelompok warga yang mengaku sebagai ahli waris Toton Cs, yang menyatakan bahwa tanah seluas sekitar 30 hektar di kawasan Pondok Indah Golf masih merupakan hak mereka. Mereka menuding bahwa pihak pengembang, PT Metropolitan Kentjana, belum menyelesaikan kewajiban atas ganti rugi lahan tersebut. Pada 6 Agustus 2025, mereka mendatangi lokasi dan menggelar aksi yang menyita perhatian publik.
Tak hanya datang sendiri, kelompok ini juga membawa dukungan dari organisasi massa (ormas) seperti GRIB Jaya, yang ikut mengepung kawasan lapangan golf. Aksi ini mendapat respons cepat dari kepolisian yang segera mengerahkan pengamanan, termasuk pasukan Brimob, untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Polisi membuat barikade, tetapi tetap mengedepankan pendekatan persuasif.
Polres Metro Jaksel Pilih Tidak Pasang Police Line
Di tengah memanasnya situasi, banyak pihak mengira bahwa Polres akan langsung melakukan penyegelan atau pemasangan garis polisi sebagai bentuk “netralisasi.” Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, menegaskan bahwa pihaknya tidak memasang dan tidak akan memasang garis polisi di lokasi tersebut. Keputusan ini bukan tanpa alasan.
“Kami mengambil langkah untuk menengahi, bukan memprovokasi. Police line hanya akan kami pasang jika ada perintah hukum yang mengikat atau jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak,” ujar Kapolres kepada wartawan.
Empat Poin Kesepakatan: Menjaga Ketertiban, Mengutamakan Hukum
Dalam mediasi yang dipimpin langsung oleh Kapolres, perwakilan dari kedua pihak duduk bersama dan menghasilkan empat poin penting:
- Kedua pihak sepakat menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum dan menghormati putusan yang bersifat final dan mengikat.
- Tidak ada pemasangan garis polisi (police line) tanpa persetujuan bersama.
- Akan diadakan pertemuan lanjutan jika jalur hukum belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
- Kedua belah pihak sepakat menjaga situasi tetap kondusif, terutama menghindari aksi-aksi yang meresahkan warga di sekitar Pondok Indah.
Mediasi ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan humanis dan partisipatif masih sangat mungkin dilakukan, bahkan dalam konflik tanah yang berpotensi memanas.

www.service-ac.id
Suara dari DPR dan Tokoh Publik: Ormas Bukan Alat Tekanan
Tak hanya aparat keamanan, para politisi pun mulai angkat bicara. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, memberikan pernyataan tegas bahwa ormas tidak boleh dijadikan alat untuk menekan pihak mana pun dalam sengketa tanah.
“Saya peringatkan kepada semua pihak agar tidak menggunakan ormas untuk intimidasi. Ini negara hukum, bukan negara ormas,” ujar Sahroni.
Pernyataan ini menyasar langsung pada penggunaan kelompok massa dalam tekanan atas klaim lahan, yang menurut banyak pengamat berisiko menciptakan instabilitas sosial dan ekonomi, terutama di kawasan elit seperti Pondok Indah.
Apa Arti Tidak Memasang Police Line?
Keputusan Polres Metro Jakarta Selatan untuk tidak memasang garis polisi bukan berarti mereka pasif atau abai. Justru langkah ini bisa dibaca sebagai:
- Komitmen terhadap netralitas: Polisi tidak berpihak pada pemilik modal atau massa, melainkan kepada hukum.
- Menekan potensi konflik: Garis polisi bisa menjadi pemicu ketegangan, seolah-olah satu pihak dikriminalisasi.
- Memberi ruang mediasi: Dengan tidak memblokade, ruang dialog tetap terbuka.
Menurut pengamat hukum pertanahan, Prof. Dedi Supriyanto dari Universitas Indonesia, pendekatan ini menunjukkan pemahaman kontekstual dari kepolisian atas kerentanan konflik lahan di kota-kota besar.
“Polres Jaksel justru menunjukkan kecakapan dalam menjaga ketertiban sipil dengan tidak membakar emosi lewat tindakan simbolik seperti police line,” jelas Dedi.
Situasi di Lapangan: Kondusif Tapi Tetap Diawasi
Hingga kini, situasi di Pondok Indah Golf dilaporkan aman dan terkendali. Pihak kepolisian tetap berjaga untuk menghindari bentrokan atau pengambilalihan paksa oleh pihak mana pun. Masyarakat sekitar pun menyambut baik langkah-langkah yang ditempuh aparat.
Seorang warga yang tinggal di kawasan Pondok Indah mengatakan:
“Kami hanya ingin hidup tenang. Sengketa tanah silakan diselesaikan di pengadilan. Jangan bawa massa ke sini,” ujar Diana, ibu rumah tangga yang khawatir akan kenyamanan lingkungannya.
Penutup: Polisi Sebagai Penjaga Dialog, Bukan Alat Tekanan
Di tengah meningkatnya konflik agraria dan polemik pertanahan di berbagai wilayah Indonesia, langkah Polres Metro Jakarta Selatan menjadi contoh bahwa penegak hukum bisa memainkan peran strategis bukan sebagai ‘pengadil dadakan’, tetapi sebagai penjaga ruang dialog dan penjaga hukum yang adil.
Dengan menolak memasang garis polisi secara sepihak, mereka menempatkan hukum di atas tekanan, dan ketenangan warga di atas simbol-simbol kekuasaan.