Jakarta, Mata4.com — Sejumlah pondok pesantren di berbagai daerah di Indonesia dilaporkan menjadi sasaran penyebaran hoaks atau informasi palsu yang beredar luas melalui media sosial dan aplikasi perpesanan. Penyebaran hoaks ini tidak hanya mencemarkan nama baik pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi juga berpotensi menimbulkan keresahan, prasangka, dan perpecahan sosial di tengah masyarakat.
Laporan dari lembaga pemeriksa fakta independen, seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), menunjukkan bahwa tren penyebaran hoaks yang menargetkan institusi pendidikan keagamaan meningkat tajam dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Berbagai narasi yang tersebar mencakup tuduhan tidak berdasar terhadap beberapa pesantren, mulai dari dugaan keterlibatan dalam radikalisme, penyebaran ajaran sesat, hingga fitnah terkait aktivitas kriminal seperti pencucian uang atau penyalahgunaan dana umat.
Hoaks yang Terstruktur dan Terorganisir
Koordinator Divisi Investigasi Mafindo, Ratri Wulandari, menyebutkan bahwa beberapa hoaks menunjukkan pola penyebaran yang sistematis dan terorganisir. “Kami mendeteksi penggunaan akun bot dan jaringan distribusi konten yang terstruktur, yang menunjukkan bahwa penyebaran hoaks ini bukan tindakan individu spontan, melainkan kemungkinan ada motif tertentu di baliknya,” ungkap Ratri saat ditemui dalam diskusi publik bertema “Melawan Hoaks di Dunia Pendidikan Keagamaan”, Selasa (15/10).
Ia juga menambahkan bahwa sebagian besar konten hoaks tersebut tidak memiliki dasar fakta yang jelas. “Sebagian besar narasi yang kami analisis berasal dari akun-akun anonim yang sulit dilacak asal-usulnya. Banyak dari mereka menggunakan potongan video atau foto yang diedit atau dikeluarkan dari konteks aslinya untuk menyesatkan publik,” jelasnya.
Contoh Kasus: Fitnah Terhadap Pesantren
Salah satu contoh kasus terjadi pada bulan Agustus 2025, ketika sebuah video yang menampilkan kegiatan keagamaan di Pesantren Nurul Hidayah, Jawa Timur, dipelintir dan diberi narasi bahwa pesantren tersebut mengajarkan doktrin radikal. Video itu cepat menyebar di platform TikTok dan WhatsApp, disertai narasi provokatif. Setelah dilakukan penelusuran, video tersebut ternyata merupakan dokumentasi rutin acara khataman Al-Qur’an yang dilakukan setiap tahun.
Pimpinan Pesantren Nurul Hidayah, KH. Ahmad Mujib, menyesalkan tindakan tersebut dan menegaskan bahwa pesantren yang dipimpinnya selalu menjunjung tinggi prinsip moderasi beragama. “Kami terbuka untuk siapa pun yang ingin datang dan melihat langsung kegiatan kami. Tuduhan tersebut sangat menyakitkan dan sama sekali tidak berdasar. Pesantren kami sudah berdiri puluhan tahun dan berkontribusi besar dalam pendidikan keagamaan masyarakat,” ujarnya.
Respons Pemerintah dan Regulator
Menanggapi maraknya hoaks yang menyasar pesantren, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan akan meningkatkan upaya pemantauan dan penindakan terhadap akun-akun penyebar disinformasi. Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo, Dr. Irwan Pratama, mengatakan bahwa pemerintah tidak tinggal diam melihat fenomena ini.
“Hoaks yang menyudutkan lembaga pendidikan, apalagi pesantren, bukan hanya berbahaya bagi reputasi institusi, tetapi juga berpotensi memecah belah masyarakat. Kami telah menurunkan sejumlah konten hoaks dan sedang menelusuri lebih dalam pelaku di balik akun-akun penyebarnya,” jelas Irwan dalam siaran pers, Senin (14/10).
Kominfo juga mendorong masyarakat untuk melaporkan konten-konten mencurigakan melalui kanal aduankonten.id serta menggunakan fitur pelaporan yang tersedia di platform digital.
Motif: Politis, Ekonomi, hingga Intoleransi
Pakar komunikasi digital dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rina Kusuma Dewi, mengatakan bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan yang memiliki basis sosial kuat kerap dijadikan sasaran karena pengaruhnya yang signifikan di tengah masyarakat.
“Ada motif politis di balik penyebaran hoaks terhadap pesantren, terutama menjelang momen-momen politik seperti Pilkada atau Pemilu. Selain itu, sentimen intoleransi juga masih menjadi tantangan besar. Lembaga keagamaan sering kali menjadi korban framing oleh pihak-pihak yang memiliki agenda sempit,” ujarnya.
Dr. Rina menekankan pentingnya literasi digital di kalangan masyarakat, terutama para pengguna media sosial. Ia menilai banyak masyarakat masih belum mampu membedakan mana informasi yang valid dan mana yang merupakan hasil manipulasi digital.
Imbauan Kepada Publik
Dalam menghadapi maraknya hoaks, berbagai pihak menyerukan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum jelas sumbernya. Kominfo, Mafindo, dan tokoh-tokoh agama mengajak seluruh warga untuk:
Melaporkan konten berbahaya ke pihak berwenang jika ditemukan informasi yang bersifat fitnah, provokasi, atau kebencian terhadap lembaga keagamaan.
Melakukan verifikasi terhadap setiap informasi yang diterima, terutama yang berkaitan dengan institusi pendidikan dan agama.
Menghindari menyebarkan ulang konten yang belum dipastikan kebenarannya.
Menggunakan sumber informasi terpercaya, seperti situs cek fakta resmi: dan kanal resmi pemerintah.

