
Sukabumi, Mata4.com — Kejadian memilukan kembali mencoreng wajah keamanan sosial di wilayah Sukabumi. Seorang pria berinisial D (25), warga Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, diamankan aparat kepolisian setelah dilaporkan telah mencabuli seorang gadis berusia 19 tahun. Modus yang digunakan terbilang klasik, namun tetap mematikan: janji manis akan pernikahan.
Korban yang diketahui baru lulus dari sebuah SMK di Sukabumi menjadi korban tipu daya dan manipulasi pelaku, yang memanfaatkan hubungan emosional untuk melakukan tindakan asusila berulang kali.
Awal Perkenalan dan Munculnya Kepercayaan
Menurut keterangan dari penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sukabumi, pelaku mengenal korban melalui media sosial sekitar bulan Maret 2025. Dalam waktu singkat, hubungan keduanya menjadi semakin dekat. Pelaku dengan lihai menunjukkan sikap perhatian dan kasih sayang yang membuat korban merasa nyaman dan percaya.
Pelaku kemudian menyampaikan niat untuk menikahi korban dalam waktu dekat. Janji tersebut diulang berkali-kali, bahkan sempat dibicarakan di hadapan teman-teman korban. Ia mengaku sudah serius dan siap memperkenalkan korban kepada keluarganya.
“Saya pikir dia serius mau nikahi saya. Dia sering bilang, ‘kita tinggal nunggu waktu yang tepat’,” ungkap korban saat diperiksa polisi.
Sayangnya, kepercayaan tersebut justru menjadi pintu masuk pelaku untuk melakukan kejahatan seksual.
Kejadian Asusila Berulang di Beberapa Lokasi
Setelah korban merasa yakin akan dinikahi, pelaku mulai mengajak korban bertemu di berbagai tempat. Beberapa kali, korban dibujuk datang ke rumah pelaku ketika orang tua pelaku sedang tidak ada di rumah. Di sanalah, pelaku pertama kali melakukan tindakan cabul.
Tidak berhenti di situ, pelaku juga membawa korban ke sebuah saung kosong di wilayah perbukitan Kecamatan Cisaat, yang dijadikan lokasi pengulangan perbuatannya. Korban yang masih mempercayai janji pernikahan tersebut, tidak melaporkan kejadian ini kepada siapa pun.
Namun setelah beberapa bulan, pelaku mulai menjauh dan tak lagi membahas soal pernikahan. Korban pun merasa ada yang tidak beres.
Keluarga Curiga, Polisi Bertindak
Keluarga korban mulai curiga karena perubahan sikap sang anak. Korban menjadi pendiam, sering menyendiri, dan enggan membicarakan masa depannya. Setelah didesak, korban akhirnya mengaku bahwa ia telah menjadi korban pencabulan.
Pihak keluarga tidak tinggal diam dan langsung melaporkan kejadian ini ke Unit PPA Polres Sukabumi. Polisi langsung bergerak cepat. Dalam waktu dua hari setelah laporan diterima, pelaku berhasil diamankan di rumahnya tanpa perlawanan.
Pasal yang Dikenakan dan Ancaman Hukuman
Kapolres Sukabumi, melalui Kasatreskrim, menyampaikan bahwa pelaku akan dijerat dengan:
- Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, karena korban masih tergolong rentan secara hukum meski telah berusia 19 tahun.
Pelaku terancam hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda maksimal Rp5 miliar.
“Kami mengingatkan masyarakat, terutama para pemuda, untuk tidak mempermainkan komitmen pernikahan. Menjadikan janji nikah sebagai alat manipulasi adalah kejahatan serius yang akan kami tindak tegas,” ujar AKP S., Kepala Unit PPA Polres Sukabumi.

www.service-ac.id
Modus Janji Nikah: Tipu Daya yang Masih Sering Terjadi
Kejadian ini menambah panjang daftar kasus pencabulan di Indonesia yang menggunakan modus “janji nikah”. Dalam budaya masyarakat kita, pernikahan sering dianggap sebagai bentuk tanggung jawab, dan terkadang dimanfaatkan oleh pelaku untuk “menenangkan” korban.
Namun banyak di antaranya yang tak pernah menepati janji tersebut. Alih-alih bertanggung jawab, mereka justru melarikan diri setelah merusak masa depan korban.
Menurut data KPAI, sepanjang 2024, terdapat lebih dari 900 kasus pencabulan terhadap remaja yang dilaporkan di seluruh Indonesia. Sebagian besar pelaku menggunakan tipu daya emosional seperti janji menikah, ancaman, atau bujuk rayu untuk melemahkan korban.
Dampak Psikologis dan Sosial bagi Korban
Selain kerugian secara fisik, korban mengalami trauma mendalam. Berdasarkan hasil pendampingan awal oleh psikolog PPA, korban menunjukkan gejala depresi ringan hingga sedang, kehilangan kepercayaan diri, dan merasa disalahkan atas apa yang terjadi.
“Korban masih dalam pendampingan. Saat ini kami fokus pada pemulihan psikologisnya sebelum memutuskan tindakan hukum lanjutan,” ujar petugas pendamping korban.
Upaya Perlindungan dan Pencegahan di Masa Depan
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya edukasi seksual sejak dini, serta pentingnya keterbukaan dalam keluarga. Masyarakat, sekolah, dan lembaga keagamaan diharapkan dapat bekerja sama untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menghormati batasan tubuh orang lain dan tidak menyalahgunakan kepercayaan.
Pihak kepolisian juga mengimbau agar para orang tua lebih terbuka dalam berdialog dengan anak-anak, terutama yang mulai menginjak usia dewasa.
Penutup: Harapan untuk Keadilan
Korban dan keluarganya kini berharap proses hukum berjalan dengan lancar dan memberikan efek jera kepada pelaku. Mereka juga berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat luas bahwa cinta dan komitmen tidak seharusnya dijadikan alat untuk menyakiti.