
Wonosobo, 24 Juli 2025 — Suasana hening menyelimuti jantung Kota Wonosobo pada Rabu malam (23/7), saat ribuan warga dari berbagai kalangan mengikuti prosesi Tapa Bisu dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-200 Kabupaten Wonosobo. Prosesi ini bukan sekadar ritual budaya, melainkan simbol kontemplasi sejarah, spiritualitas, dan penghormatan terhadap perjalanan panjang dua abad kabupaten yang dikenal sebagai “Negeri di Atas Awan” ini.
Tapa Bisu, sebagaimana namanya, adalah laku diam yang dijalani secara kolektif oleh para peserta. Mereka berjalan kaki dari Pendopo Kabupaten Wonosobo menuju Alun-Alun dengan langkah perlahan, tanpa suara, tanpa berbicara, dan tanpa sorakan. Di tengah keramaian malam, yang terdengar hanya derap kaki dan gemerisik angin—menciptakan atmosfer sakral yang membedakan prosesi ini dari perayaan hari jadi daerah lain.
Menghidupkan Nilai-nilai Leluhur
Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, yang juga turut berjalan dalam barisan prosesi, menyampaikan bahwa Tapa Bisu merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya yang sarat makna filosofis.
“Ini adalah bentuk penghormatan kita kepada para pendahulu. Dalam diam, kita diajak untuk mengingat sejarah, merenungi nilai-nilai kebangsaan, dan menyatukan doa demi masa depan Wonosobo yang lebih baik,” ujar Bupati Afif dalam pernyataannya usai prosesi.
Lebih dari sekadar ritual tahunan, Tapa Bisu telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Wonosobo. Diam yang dilakukan dalam prosesi ini merupakan simbol perenungan diri, pengendalian ego, dan upaya menyatukan batin dengan kekuatan spiritual serta alam.
Simbol Perpindahan Sejarah dan Spiritualitas
Sejarawan dan budayawan lokal, Dr. Setyo Wardoyo, menyebut prosesi Tapa Bisu sebagai bentuk simbolik dari perpindahan sejarah. Dalam dua abad terakhir, Wonosobo telah melalui banyak fase penting—dari daerah yang didirikan pada 24 Juli 1825 oleh Adipati Wonosobo I, hingga kini menjadi salah satu daerah wisata dan pertanian unggulan di Jawa Tengah.
“Prosesi ini menjadi gambaran perpindahan waktu dan kesadaran kolektif masyarakat. Kita diajak untuk meninggalkan kebisingan duniawi sejenak dan masuk ke ruang spiritual yang lebih dalam, mengingat siapa kita dan ke mana kita akan melangkah,” jelas Setyo.
Ia juga menambahkan bahwa Tapa Bisu bisa dianggap sebagai “jembatan batin” antara masa lalu dan masa depan. Dalam hening, masyarakat menundukkan kepala bukan untuk menyerah, melainkan untuk menghormati sejarah dan menyusun harapan ke depan.
Partisipasi Lintas Generasi
Menariknya, prosesi ini tidak hanya diikuti oleh kalangan tua, tetapi juga banyak diikuti oleh generasi muda. Anak-anak sekolah, mahasiswa, komunitas budaya, hingga pegiat lingkungan turut hadir dalam barisan. Mereka datang dengan pakaian tradisional Jawa, membawa obor, dan berjalan dengan khidmat meski dalam suasana malam yang sejuk.
Salah satu peserta muda, Dini Rahma (22), mengaku terharu bisa mengikuti prosesi tersebut. “Awalnya saya hanya ikut karena penasaran. Tapi setelah menjalaninya, saya merasa ini benar-benar menyentuh. Diam itu ternyata penuh makna. Kita jadi lebih bisa merasa—bukan hanya berpikir,” katanya.
Antusiasme masyarakat juga terlihat dari banyaknya warga yang berdiri di pinggir jalan untuk menyaksikan prosesi, meski tak boleh bersorak. Mereka hanya menyalakan lilin, memejamkan mata, atau mengikuti dengan langkah sunyi dari kejauhan.
Rangkaian Kegiatan Hari Jadi ke-200
Prosesi Tapa Bisu menjadi bagian penting dari rangkaian perayaan Hari Jadi ke-200 Wonosobo yang berlangsung sepanjang pekan ini. Selain prosesi spiritual tersebut, pemerintah kabupaten juga menggelar sejumlah kegiatan budaya dan sosial, di antaranya:
- Kirab budaya dan karnaval rakyat
- Pentas seni tradisional (kuda lumping, lengger, karawitan)
- Pameran UMKM dan kuliner lokal
- Ziarah ke makam tokoh pendiri Kabupaten Wonosobo
- Seminar sejarah dan diskusi kebudayaan
- Lomba-lomba edukatif untuk pelajar dan masyarakat
Dengan mengusung tema “200 Tahun Wonosobo: Menjaga Warisan, Menatap Masa Depan”, seluruh rangkaian acara ditujukan untuk merekatkan kembali identitas masyarakat, membangun kebanggaan terhadap daerah, sekaligus mengajak generasi muda agar tak melupakan akar sejarah dan budaya leluhurnya.
Refleksi dan Harapan
Perayaan dua abad bukan hanya peringatan usia, melainkan momentum refleksi. Kabupaten Wonosobo, yang dikenal dengan lanskap pegunungan Dieng, kekayaan alam, serta keramahan masyarakatnya, tengah menghadapi tantangan zaman—mulai dari modernisasi, perubahan iklim, hingga arus budaya luar.
Prosesi Tapa Bisu menjadi pengingat bahwa di tengah hingar-bingar pembangunan, ada nilai-nilai yang perlu terus dijaga: kesederhanaan, kebersamaan, kesadaran sejarah, dan spiritualitas.
Dalam diamnya malam Wonosobo, ribuan doa mengalir tanpa suara—menjadi harapan bersama bahwa perjalanan ke depan akan seindah dan sekuat warisan masa lalu.