Jakarta, Mata4.com — Dalam lanskap digital yang terus berkembang pesat, kejahatan finansial berbasis teknologi atau yang dikenal sebagai scam keuangan juga mengalami peningkatan signifikan. Terbaru, berdasarkan laporan resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Satgas Waspada Investasi (SWI), Provinsi Jawa Barat mencatat jumlah laporan penipuan keuangan tertinggi di Indonesia sepanjang tahun 2025.
Data tersebut mengungkapkan bahwa dalam periode Januari hingga Oktober 2025, terdapat sedikitnya 15.297 aduan masyarakat dari Jawa Barat yang dilaporkan ke berbagai kanal pengaduan OJK, SWI, dan Kepolisian. Jumlah ini melonjak sekitar 18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Populasi Tinggi dan Literasi Digital Jadi Faktor Utama
Kepala Eksekutif Pengawas Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyatakan bahwa tingginya angka laporan dari Jawa Barat tak semata-mata berarti tingkat penipuannya lebih tinggi dari daerah lain, melainkan juga mencerminkan jumlah penduduk yang besar, penetrasi digital yang luas, dan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
“Kita melihat bahwa masyarakat Jawa Barat semakin sadar akan hak-haknya sebagai konsumen keuangan. Mereka lebih berani melapor dan lebih peka terhadap modus penipuan, ini harus diapresiasi,” kata Friderica dalam konferensi pers daring pada Senin (20/10).
Dengan lebih dari 48 juta penduduk dan tingkat penggunaan internet yang terus naik, Jawa Barat menjadi wilayah yang strategis bagi pelaku kejahatan digital untuk menyebarkan modus penipuan, baik melalui media sosial, pesan instan, maupun aplikasi palsu.
Modus Penipuan Semakin Beragam dan Terselubung
Satgas Waspada Investasi mencatat bahwa sepanjang tahun 2025, modus penipuan mengalami diversifikasi. Tak hanya investasi bodong, kini muncul bentuk-bentuk penipuan yang jauh lebih canggih, memanfaatkan deepfake, situs palsu yang menyerupai lembaga keuangan resmi, hingga bot percakapan yang meyakinkan.
Modus paling umum yang ditemukan di Jawa Barat antara lain:
- Investasi ilegal berkedok koperasi, e-commerce, atau kripto dengan janji imbal hasil tetap dan cepat.
- Pinjaman online ilegal (pinjol) yang menjerat korban dengan bunga harian tinggi dan ancaman penyebaran data pribadi.
- Rekrutmen kerja fiktif, di mana pelamar diminta membayar “uang pelatihan” atau “jaminan seragam”.
- Phishing, berupa tautan jebakan di media sosial atau email yang menyedot data rekening dan informasi pribadi.
Dalam beberapa kasus, korban tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga mengalami tekanan psikologis akibat intimidasi, penyebaran data pribadi, hingga ancaman kepada keluarga.
Kelompok Usia Produktif Jadi Korban Terbesar
Dari data pengaduan, kelompok usia 25–40 tahun menjadi korban terbanyak. Mereka umumnya merupakan pengguna aktif media digital, sedang mencari peluang kerja atau tambahan penghasilan, namun belum memiliki pemahaman yang memadai tentang keamanan digital dan legalitas entitas keuangan.
“Kelompok ini paling rentan karena mereka berada dalam fase produktif namun banyak tergoda oleh janji keuntungan instan,” ujar Tongam L. Tobing, Ketua SWI.
Ia menambahkan bahwa banyak dari korban juga tertipu oleh tampilan profesional yang dibuat oleh pelaku, seperti logo menyerupai OJK, alamat kantor fiktif, hingga testimoni palsu dari akun media sosial yang telah diretas.
Langkah Pemerintah: Penindakan dan Edukasi
Pemerintah dan otoritas terkait terus berupaya melakukan penindakan terhadap entitas ilegal, di antaranya dengan memblokir lebih dari 600 aplikasi pinjol ilegal selama 2025, serta menutup 150 situs investasi bodong. Sementara itu, kepolisian telah menangkap sejumlah pelaku dan membongkar jaringan penipuan lintas provinsi.
Namun, penindakan dianggap belum cukup. Oleh karena itu, edukasi literasi digital dan keuangan semakin digencarkan, baik melalui media sosial, kampanye daring, sekolah, hingga lembaga masyarakat.
Friderica menegaskan pentingnya masyarakat mengecek legalitas perusahaan atau platform sebelum melakukan transaksi keuangan, melalui kanal resmi seperti kontak157.ojk.go.id dan situs Satgas Waspada Investasi.
“Kalau ragu, jangan lakukan transaksi. Jangan segan bertanya ke OJK atau lembaga keuangan resmi. Kami terbuka untuk membantu masyarakat,” tegasnya.
Ajakan untuk Waspada dan Saling Mengedukasi
Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengingatkan bahwa pelaku scam keuangan kini memanfaatkan teknologi AI untuk menyebarkan penipuan secara masif dan personal.
“Kita harus anggap setiap pesan yang menggiurkan di dunia maya sebagai potensi jebakan. Periksa, klarifikasi, dan edukasi orang sekitar,” ujarnya.
Pratama juga menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, perusahaan platform digital, bank, dan media untuk menciptakan ekosistem digital yang aman.

