
Jakarta, 24 Juli 2025 — Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), masyarakat kini semakin terbiasa berinteraksi dengan chatbot canggih seperti ChatGPT, Gemini, Claude, dan AI sejenisnya. Tak hanya digunakan untuk membantu pekerjaan atau mencari informasi, kini AI juga sering dijadikan “tempat curhat” bagi banyak orang—terutama mereka yang sedang mengalami tekanan emosional, kebingungan, atau rasa kesepian.
Namun, kebiasaan tersebut mulai menjadi sorotan serius di kalangan psikolog dan profesional kesehatan jiwa. Para ahli mengingatkan bahwa mengandalkan chatbot AI sebagai tempat utama untuk mencurahkan isi hati atau menyelesaikan masalah pribadi bisa berdampak negatif dalam jangka panjang, baik secara mental maupun sosial.
Fenomena “Curhat ke AI”: Solusi Cepat yang Mulai Menjadi Kebiasaan
Curhat ke AI dianggap menyenangkan bagi banyak orang. Tanpa takut dihakimi, pengguna merasa bisa menyampaikan keluh kesah secara bebas, lalu mendapat tanggapan yang terdengar hangat, sopan, dan mendukung. Tak sedikit pula yang merasa lebih nyaman berbicara kepada “mesin” ketimbang manusia.
Tren ini bahkan semakin meningkat di kalangan generasi Z dan milenial, yang akrab dengan teknologi dan sering merasa enggan berbagi masalah kepada orang tua, teman, atau bahkan tenaga profesional.
Namun, menurut Dr. Arini Pratiwi, M.Psi., Psikolog Klinis, kondisi ini dapat menimbulkan konsekuensi serius jika tidak disikapi dengan hati-hati.
“AI memang dapat merespons secara cepat dan kelihatannya penuh empati, tapi jangan lupa: AI tidak memiliki perasaan, pengalaman hidup, atau pemahaman kontekstual seperti manusia. Mereka dilatih dengan data, bukan intuisi atau rasa,” tegasnya dalam seminar HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia) bertajuk ‘Mental Health di Era AI’.
Risiko Psikologis: Dari Isolasi Sosial hingga Ketergantungan Emosional
Arini dan sejumlah psikolog lainnya menggarisbawahi beberapa risiko dari kebiasaan curhat terlalu sering kepada AI:
1. Ketergantungan Emosional pada Sistem yang Tidak Nyata
Pengguna yang rutin mencurahkan isi hati ke chatbot dapat mengalami pseudo-attachment atau keterikatan semu secara emosional. Ini berpotensi membuat mereka menghindari hubungan nyata dengan manusia, merasa cukup dengan jawaban dari AI, dan kehilangan kemampuan untuk membentuk koneksi sosial yang sehat.
2. Penghindaran Masalah Asli
Karena AI tidak bisa menggali emosi mendalam atau menantang pola pikir negatif seperti seorang terapis, pengguna bisa terjebak dalam pengulangan keluhan tanpa solusi nyata. Bukannya menyembuhkan, AI malah bisa memperkuat kebiasaan menghindar dari realitas atau penolakan terhadap bantuan profesional.
3. Ketiadaan Evaluasi Klinis dan Keamanan Krisis
AI tidak mampu mengidentifikasi secara akurat kondisi krisis, seperti pikiran untuk menyakiti diri sendiri, kecenderungan bunuh diri, atau gangguan kepribadian berat. Meskipun AI dapat menyarankan “sebaiknya hubungi profesional”, tidak ada jaminan pengguna akan menindaklanjutinya.
“Dalam praktik psikologi, kami melakukan asesmen klinis. Kami melihat mimik, intonasi, pola bicara, bahkan ekspresi tubuh. Itu tidak bisa dilakukan oleh AI. Kalau pengguna berada dalam kondisi rawan, AI tidak bisa bertindak cepat untuk menyelamatkan mereka,” jelas Arini.
AI Bermanfaat, Tapi Bukan Pengganti Terapis
Perlu diakui bahwa AI seperti ChatGPT tetap memiliki manfaat, jika digunakan dengan bijak dan pada konteks yang tepat. Beberapa fungsi yang masih relevan dan positif antara lain:
- Membantu menjelaskan konsep psikologis secara sederhana
- Memberikan latihan journaling atau self-reflection
- Memberikan saran ringan untuk self-care
- Membantu menyusun rencana manajemen stres awal
Namun demikian, AI tidak bisa melakukan diagnosis, tidak memiliki lisensi profesional, dan tidak bertanggung jawab secara etik maupun hukum terhadap kondisi mental seseorang.
Studi: Pengguna AI Mulai Kehilangan Koneksi Sosial Nyata
Sebuah studi yang dilakukan oleh Asia Digital Wellness Center pada awal 2025 menunjukkan bahwa 28% responden usia 18–30 tahun di kawasan Asia Tenggara lebih memilih bercerita kepada chatbot AI dibanding kepada orang tua atau teman. Bahkan, 1 dari 5 responden mengaku merasa “lebih didengar” oleh AI daripada oleh orang di dunia nyata.
Temuan ini dianggap mengkhawatirkan karena menunjukkan adanya tren penurunan interaksi sosial yang sehat serta penghindaran terhadap komunikasi interpersonal yang sesungguhnya.
Kapan Harus Berhenti Curhat ke AI?
Psikolog menyarankan agar pengguna mulai membatasi interaksi emosional dengan AI dan segera beralih ke bantuan manusia ketika:
- Masalah yang dirasakan sudah mengganggu kehidupan sehari-hari
- Ada pikiran menyakiti diri sendiri atau orang lain
- Perasaan sedih, cemas, atau kosong berlangsung selama lebih dari 2 minggu
- Merasa AI tidak cukup lagi untuk memberikan kelegaan emosional
“Tanda paling jelas: kalau kamu merasa makin terjebak, semakin tertutup, atau kehilangan makna hidup, maka saatnya bicara dengan manusia—bukan dengan mesin,” tambah Arini.
Solusi: Seimbangkan Teknologi dan Kemanusiaan
Alih-alih menggantikan manusia dengan mesin, para pakar menyarankan agar AI justru digunakan sebagai jembatan awal, bukan titik akhir dalam pencarian pertolongan. Kita bisa mulai dari AI untuk memahami kondisi secara ringan, lalu melanjutkan ke konselor, psikolog, atau tenaga profesional lain yang memiliki kapasitas mendalam.
Layanan Profesional yang Bisa Diakses
Bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan, berikut beberapa layanan yang bisa dihubungi:
- Halo Kemkes 1500-567 (Layanan kesehatan mental Kemenkes RI)
- Sehat Jiwa HIMPSI (Konsultasi daring dengan psikolog)
- RS Jiwa dan Puskesmas dengan layanan psikologi klinis
- Layanan psikolog swasta/klinik berbasis daring seperti Riliv, Sahabat Jiwa, Bicarakan.id, dan lainnya
Kesimpulan: AI Bisa Membantu, Tapi Jangan Dijadikan Pelarian
Teknologi AI menawarkan banyak manfaat. Tapi dalam hal kesehatan mental, manusia tetap membutuhkan sentuhan manusia. AI tidak bisa memahami trauma kompleks, tidak bisa merasakan empati sejati, dan tidak bisa menggantikan peran hubungan sosial yang nyata.
Gunakan AI untuk belajar, mencatat perasaan, atau merenung. Tapi ketika hidup terasa berat, ketika rasa sedih tak kunjung hilang, ketika pikiran terasa kacau—beranilah untuk bicara pada manusia.
Karena manusia adalah makhluk sosial. Dan untuk pulih, kita tidak hanya butuh jawaban, tapi juga pelukan, tatapan hangat, dan suara yang bisa merasakan—bukan hanya membalas.