
Jakarta, Mata4.com — Dalam dinamika politik nasional yang kerap panas dan penuh perdebatan, pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani baru-baru ini menjadi angin segar. Di tengah sorotan tajam publik terhadap kinerja legislatif, Puan justru menyerukan hal yang tidak biasa: DPR harus berani dikritik.
Pernyataan itu dilontarkannya dalam sebuah forum internal DPR, namun kemudian menyebar luas ke publik dan memicu berbagai tanggapan. Tidak sedikit yang menyambutnya dengan positif. Beberapa akademisi bahkan menyebut pernyataan tersebut sebagai cerminan kerendahan hati seorang pemimpin lembaga tinggi negara.
Akademisi: Ini Bentuk Kedewasaan Politik
Salah satu pujian datang dari Dr. Ahmad Rifai, pakar politik dari Universitas Indonesia, yang menilai bahwa sikap Puan patut diapresiasi. “Apa yang disampaikan Ibu Puan menunjukkan adanya kedewasaan politik yang mulai tumbuh dalam tubuh parlemen kita. Kerendahan hati untuk membuka diri terhadap kritik adalah langkah penting dalam memperkuat fungsi pengawasan publik,” kata Rifai kepada media, Kamis (3/10).
Menurutnya, pernyataan tersebut bukan sekadar simbolik, melainkan memiliki makna strategis dalam demokrasi. “Kritik dari masyarakat adalah bentuk cinta, bukan ancaman. DPR perlu menyadari bahwa legitimasi mereka berasal dari rakyat. Maka, mendengar dan menanggapi kritik adalah bagian dari tanggung jawab, bukan beban,” tambahnya.
DPR dan Masalah Citra di Mata Publik
Tidak bisa dipungkiri, DPR selama ini sering berada di posisi sulit dalam pandangan masyarakat. Mulai dari rendahnya tingkat kehadiran sidang, kontroversi revisi undang-undang, hingga kasus etik dan dugaan korupsi, semuanya membuat kepercayaan publik terhadap parlemen sering kali naik-turun.
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia misalnya, dalam hasil survei terbarunya menunjukkan bahwa hanya 38% masyarakat yang merasa puas dengan kinerja DPR. Sebagian besar responden menyebut bahwa DPR dinilai “jauh dari rakyat” dan “tidak transparan”.
Karena itu, menurut pengamat politik dari CSIS, Rini Kurniawati, pernyataan Puan bisa menjadi titik balik. “Jika benar-benar diwujudkan dalam sikap dan kebijakan, ini akan jadi momentum penting. Kita perlu melihat DPR tidak lagi defensif, melainkan terbuka terhadap kritik. Itu yang akan mengembalikan kepercayaan publik,” jelas Rini.
Puan: Kritik Itu Penting, Tapi Harus Konstruktif
Dalam penjelasannya, Puan menekankan bahwa sebagai lembaga wakil rakyat, DPR tidak boleh menutup diri dari kritik. Namun, ia juga mengajak publik untuk menyampaikan kritik secara objektif dan membangun.
“Kami di DPR adalah manusia biasa yang bisa salah dan tentu bisa memperbaiki diri. Kritik dari masyarakat adalah cermin. Tapi tentu akan lebih baik jika disampaikan secara santun dan berdasar. Kami akan mendengar,” ujar Puan dalam pernyataannya di Gedung DPR RI, Senin lalu.
Sikap ini cukup berbeda dari sejumlah elite politik lain yang sering kali justru menyerang balik kritik dengan dalih “menyesatkan opini” atau “tidak tahu data.” Dalam hal ini, Puan terlihat mencoba membangun jembatan dialog antara parlemen dan publik.
Masyarakat Sipil: Jangan Hanya Manis di Kata
Meski banyak yang menyambut positif pernyataan tersebut, tak sedikit pula yang menantang DPR untuk membuktikannya dalam tindakan nyata. Salah satunya datang dari Siti Rahmawati, aktivis masyarakat sipil dari Koalisi Transparansi Parlemen.
“Kami menghargai sikap Puan, tapi masyarakat menunggu bukti. Misalnya, adakah rencana membuka rapat-rapat penting ke publik? Bagaimana DPR menyikapi petisi rakyat atau laporan pelanggaran etik? Itu semua harus dijawab dengan tindakan konkret,” kata Siti.
Menurutnya, publik selama ini sudah lelah dengan janji-janji manis. Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya pernyataan yang menyejukkan, tetapi mekanisme pengawasan dan partisipasi publik yang diperkuat.
Jalan Panjang Menuju DPR yang Terbuka
Tak dapat dipungkiri, membangun DPR yang terbuka terhadap kritik bukan perkara mudah. Ada banyak tantangan, mulai dari budaya politik yang elitis, hingga resistensi internal terhadap perubahan. Namun, langkah sekecil apa pun, jika dimulai dari pucuk pimpinan, bisa membawa dampak besar.
Puan Maharani, sebagai Ketua DPR sekaligus tokoh penting di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), memiliki posisi strategis untuk memimpin perubahan budaya ini. Bila seruan untuk membuka diri terhadap kritik diikuti dengan kebijakan nyata—seperti memperkuat sistem pelaporan publik, memperbaiki komunikasi DPR dengan masyarakat, hingga memperketat etika dan disiplin anggota—maka pernyataannya tidak akan berhenti sebagai retorika.
Kesimpulan: Dari Kata Menuju Aksi
Pernyataan Puan Maharani soal pentingnya DPR berani dikritik jelas menjadi angin segar dalam lanskap politik nasional. Sikap terbuka dan rendah hati dari seorang pemimpin lembaga tinggi negara tidak hanya memperlihatkan kedewasaan politik, tetapi juga memberi harapan bahwa demokrasi Indonesia masih punya ruang untuk tumbuh lebih sehat.
Namun, sebagaimana kritik itu sendiri, publik tidak akan cukup puas hanya dengan kata-kata. Harapan kini tertuju pada langkah konkret dari DPR untuk menjadikan kritik sebagai bahan bakar perubahan, bukan sekadar formalitas politik.