
Jakarta, Mata4.com — Di tengah dorongan efisiensi anggaran dan tekanan fiskal pasca pandemi, banyak pemerintah daerah (pemda) di Indonesia mulai menaikkan tarif pajak, terutama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Fenomena ini memunculkan pertanyaan publik: apakah ini strategi cerdas untuk memperkuat pendapatan asli daerah (PAD), atau justru hanya tambal sulam kebijakan fiskal yang berisiko memperburuk beban masyarakat?
Pemerintah pusat sendiri membantah bahwa tren kenaikan tarif ini merupakan hasil tekanan langsung dari pusat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak daerah mengambil langkah agresif demi menutup potensi defisit dan menjaga kesinambungan pembiayaan pembangunan.
Kenaikan Pajak Daerah: Fenomena Meluas
Sepanjang tahun 2025, beberapa daerah terpantau menaikkan tarif PBB-P2 dalam jumlah signifikan, bahkan ekstrem:
- Kabupaten Pati (Jawa Tengah): Kenaikan mencapai 250%
- Kabupaten Semarang: Lebih dari 400%
- Kota Cirebon dan Kabupaten Jombang: Terpantau naik hingga 1.000%
Lonjakan ini memicu kecemasan publik, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah yang merasa terbebani secara mendadak. Protes pun bermunculan, mulai dari petisi warga, aksi demonstrasi, hingga desakan kepada DPRD untuk mengevaluasi kembali peraturan daerah terkait pajak.
Klarifikasi Pemerintah Pusat: “Ini Urusan Daerah”
Menanggapi kehebohan publik, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa kebijakan menaikkan tarif pajak adalah kewenangan otonomi daerah, bukan instruksi atau tekanan dari pemerintah pusat. Ia menegaskan bahwa efisiensi anggaran pusat hanya sebesar 4–5%, dan tidak serta-merta menyebabkan daerah menaikkan pajak.
“Jangan salah persepsi. Ini bukan karena pemotongan besar dari pusat. Kenaikan PBB-P2 adalah hasil perencanaan daerah sejak 2023–2024,” tegas Hasan. Ia juga menyebut bahwa banyak kenaikan tarif ini dilakukan sebagai bagian dari revisi regulasi pajak menyusul diterbitkannya UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pemerintah Pusat: Jangan Asal Naik, Pertimbangkan Beban Rakyat
Meski tidak melarang, pemerintah pusat tetap mengingatkan agar daerah berhati-hati dalam menaikkan tarif pajak. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, memberikan peringatan kepada kepala daerah agar tidak gegabah mengambil langkah yang bisa memicu inflasi dan memperburuk daya beli masyarakat.
“Kenaikan pajak itu sensitif. Jangan sampai rakyat makin susah. Kami sarankan ada studi dampak sosial sebelum revisi tarif pajak, terutama yang berdampak langsung ke warga seperti PBB atau pajak bahan bakar,” ujarnya.
Strategi Daerah: Antara Efisiensi & Peningkatan PAD
Sejumlah daerah menunjukkan pendekatan yang lebih strategis dan terukur. Mereka tidak hanya menaikkan tarif, tetapi juga melakukan efisiensi anggaran serta memberikan insentif dan kemudahan kepada wajib pajak. Berikut beberapa contoh:
1. Kabupaten Bandung Barat
Pemkab melakukan efisiensi menyusul pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat sebesar Rp130 miliar. Namun, Pemkab memilih untuk:
- Mengurangi belanja perjalanan dinas, ATK, dan kegiatan seremonial
- Tidak menaikkan tarif pajak secara drastis
- Mengoptimalkan penerimaan dengan memberikan kemudahan pembayaran pajak secara online
- Menyediakan saluran pengaduan dan proses keberatan atas nilai PBB-P2, sebagai bentuk akuntabilitas
2. Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai)
Bupati Sergai menerapkan sistem insentif progresif:
- Diskon 10% untuk pembayaran PBB dalam 2 bulan pertama
- Diskon 8% untuk bulan ketiga
- Diskon 5% untuk tiga bulan pertama
Yang menarik, ada kebijakan pembebasan PBB-P2 untuk petani sawah dengan luas lahan di bawah 2.800 m². Hal ini dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap sektor pertanian dan masyarakat kecil.
3. Kabupaten Katingan (Kalimantan Tengah)
Pemkab Katingan memilih merevisi Perda Pajak dan Retribusi. Tujuannya adalah:
- Menyesuaikan dengan UU HKPD
- Memberikan kepastian hukum
- Meningkatkan efisiensi pengumpulan pajak melalui basis hukum yang baru
- Memberi ruang partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan pajak

www.service-ac.id
Digitalisasi dan Transparansi: Kunci Efisiensi Modern
Seiring perkembangan teknologi, beberapa daerah memanfaatkan digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pajak:
1. Kota Samarinda
Mengembangkan dashboard geoportal yang menyajikan data spasial objek pajak dalam peta digital. Hal ini mempermudah pemetaan, audit, dan validasi langsung ke lapangan — menutup potensi kebocoran pajak akibat pendataan manual.
2. Provinsi Papua Selatan
Menerapkan skema “opsen” (opsi pembagian pajak):
- Distribusi langsung pendapatan dari PKB dan BBNKB ke kabupaten/kota secara real time
- Meningkatkan transparansi dan mengurangi waktu tunggu distribusi dana
3. Pekanbaru
Menerapkan sistem SMART TAX, di mana masyarakat dapat:
- Membayar pajak via QRIS
- Melaporkan kewajiban via WhatsApp
- Mengakses layanan pajak melalui mobil keliling
Kota ini juga mencatat kenaikan realisasi penerimaan pajak daerah melalui pendekatan IED: Intensifikasi, Ekstensifikasi, dan Digitalisasi.
Menuju Sistem Pajak Daerah yang Lebih Adil
Berbagai pakar fiskal dan lembaga penelitian mengingatkan bahwa kenaikan tarif saja tidak cukup. Reformasi pajak daerah perlu mengusung prinsip-prinsip:
- Keadilan vertikal dan horizontal: Tarif progresif untuk objek bernilai besar, namun tetap adil bagi semua lapisan masyarakat
- Kepastian hukum dan akuntabilitas: Setiap kebijakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka
- Digitalisasi dan integrasi data: Mencegah penghindaran pajak dan meningkatkan efisiensi layanan
- Transparansi pemanfaatan pajak: Masyarakat harus tahu ke mana uang pajak mereka digunakan
Selain itu, penting untuk mengedepankan edukasi publik tentang manfaat pajak, serta melibatkan masyarakat dalam menyusun kebijakan agar menciptakan kepercayaan dan kepatuhan sukarela.
Kesimpulan
Lonjakan tarif pajak daerah bukan sepenuhnya akibat pemotongan anggaran pusat, tetapi lebih mencerminkan strategi fiskal lokal. Meski kenaikan tarif sah secara hukum, pelaksanaannya harus mempertimbangkan kondisi sosial, daya beli masyarakat, dan efektivitas penggunaan dana.
Kebijakan “tambal sulam” berupa menaikkan tarif tanpa reformasi struktural berisiko memicu ketimpangan, ketidakpuasan publik, bahkan potensi stagnasi ekonomi lokal.
Sebaliknya, daerah yang mampu menyeimbangkan efisiensi anggaran, inovasi teknologi, insentif pajak, dan transparansi penggunaan dana akan lebih dipercaya masyarakat dan memiliki fondasi fiskal yang kuat di masa depan.