Bekasi, Mata4.com – Ekonom Yanuar Rizky kembali menyoroti mencuatnya isu redenominasi rupiah, yang menurutnya selalu muncul ketika nilai tukar rupiah sedang ambruk. Ia menegaskan bahwa wacana penyederhanaan nominal rupiah ini sudah lebih dari satu dekade bolak-balik disuarakan, tetapi belum pernah benar-benar dieksekusi pemerintah.
Dalam siniar Forum Keadilan TV pada Senin (17/11/2025), Yanuar menegaskan bahwa redenominasi bukanlah ide baru. Bank Indonesia pertama kali melontarkan wacana itu pada 2007 dalam rapat dengan DPR, pada saat krisis subprime mortgage melanda Amerika Serikat dan memberikan tekanan kuat pada rupiah.
“Wacana redenominasi bukan ide baru. BI menyampaikan sekitar 2007 di DPR. Karena waktu itu ada krisis subprime mortgage. Ada tekanan terhadap rupiah. BI menyatakan dua hal: devisa hasil ekspor harus masuk dan redenominasi,” ujar Yanuar.
Rupiah Melemah, Spekulasi Menguat
Yanuar menilai melemahnya rupiah yang kini berada di kisaran Rp16.600 per dolar AS kembali mendorong pembahasan redenominasi. Ia menggambarkan permasalahannya secara sederhana: angka nominal rupiah terlalu besar sehingga memicu spekulasi mata uang.
“Misalnya, rupiah sekarang Rp16.600. Kalau saya geser satu tick satu persen saja, itu sudah 160 poin. Bandingkan dengan Ringgit Malaysia yang setara 4,1 dolar; satu tick-nya cuma 0,0041. Kalau saya tukang goreng duit, capek kapan kayanya,” jelasnya.
Menurutnya, besar kecilnya angka nominal memberi celah bagi pelaku pasar tertentu untuk bermain spekulasi dalam skala besar.
Wacana Yang Selalu Muncul Saat Krisis
Yanuar menyebut, wacana redenominasi selalu kembali mengemuka setiap kali rupiah berada dalam tekanan. Ia mengingatkan:
- Pada 2016, rupiah pernah tertekan — isu redenominasi kembali naik.
- Pada 2017, wacana ini bahkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tapi kemudian hilang tanpa tindak lanjut.
- Tahun 2023, saat Sri Mulyani masih menjadi Menkeu, diskusi kembali bergulir.
- Kini, di 2025, isu kembali hidup di bawah Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa.
Pemerintah Pernah Beri Lampu Hijau
Yanuar juga menyebut bahwa Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebenarnya pernah memberi lampu hijau terhadap kebijakan ini pada 2011 melalui kerangka MP3EI.
“Waktu itu Presiden SBY merestui redenominasi, tapi syaratnya masyarakat harus siap, komunikasinya harus matang, dan persepsi publik harus dikelola dengan baik,” tegasnya.
Alasannya, kala itu Indonesia sedang menyiapkan integrasi ekonomi tingkat ASEAN, sehingga penggunaan nilai nominal sederhana dianggap penting.

PMK 70/2025: Pemerintah Mulai Serius?
Kali ini, indikasi pemerintah lebih serius terlihat dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025. Dalam beleid tersebut, pemerintah menyatakan tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, yang secara substansi memuat rencana redenominasi.
Pemerintah menegaskan bahwa penyederhanaan nilai rupiah bukan sekadar “menghapus tiga nol”, tetapi menjadi strategi nasional untuk:
- meningkatkan efisiensi ekonomi,
- memperkuat daya saing Indonesia,
- mengurangi biaya transaksi, dan
- menjaga stabilitas rupiah jangka panjang.
Dalam konsep yang beredar, contoh sederhananya adalah:
Rp1.000 → Rp1
dengan target implementasi penuh pada 2027.
Namun muncul dinamika menarik: Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa kemudian menyatakan bahwa pelaksanaan redenominasi sepenuhnya berada dalam kewenangan Bank Indonesia, bukan Kemenkeu. Hal ini memunculkan tanda tanya mengenai sejauh mana koordinasi antar lembaga berjalan.
Simpulan: Wacana Lama yang Terus Berulang
Bagi Yanuar, isu redenominasi akan terus berulang selama nilai tukar rupiah berada dalam tekanan dan fundamental ekonomi belum diperbaiki. Menurutnya, penyederhanaan nominal rupiah hanya efektif jika:
- kebijakan komunikasi berjalan baik,
- masyarakat siap,
- BI dan pemerintah terkoordinasi,
- serta kestabilan ekonomi nasional dipulihkan.
Selama syarat itu belum terpenuhi, redenominasi berisiko kembali menjadi sekadar wacana — atau meminjam istilah Yanuar, “masih tahap omon-omon.”
