
Ponorogo, Mata4.com — Sore itu, langit Jakarta masih bersahabat. Di antara semilir angin yang menyapu area Taman Mini Indonesia Indah (TMII), suara kendang dan gong mulai terdengar menggema dari kejauhan. Puluhan penari dengan kostum khas dan iringan gamelan tradisional memasuki area panggung terbuka. Penonton serentak bertepuk tangan — tanda bahwa pertunjukan Reog Ponorogo, seni tradisi kebanggaan Jawa Timur, akan segera dimulai.
Dan ketika sosok Singa Barong muncul dengan gagahnya, memikul kepala singa berbobot puluhan kilogram hanya dengan gigi, suasana pun berubah menjadi magis. Anak-anak melongo kagum, orang dewasa mengangkat ponsel untuk merekam momen langka ini, dan para orang tua tersenyum haru, seolah tengah dibawa pulang ke masa kecil mereka di kampung halaman.
Reog Bukan Sekadar Tontonan — Ia Adalah Roh Budaya Leluhur
Bagi masyarakat Ponorogo dan Jawa Timur, Reog lebih dari sekadar atraksi. Ia adalah warisan spiritual, simbol keberanian, kesetiaan, dan kekuatan rakyat kecil melawan ketidakadilan. Dalam setiap gerakan Jathilan (penari kuda), tiap hentakan kaki Warok, dan tiap kibasan bulu merak di kepala Singa Barong, tersimpan filosofi dan cerita rakyat yang telah diwariskan lintas generasi.
“Reog adalah seni perlawanan yang dibalut keindahan,” ujar Sutrisno, pimpinan sanggar seni Reog yang tampil di TMII.
“Di dalamnya ada kisah rakyat tentang cinta, keberanian, dan harga diri. Dan tugas kami adalah terus menghidupkannya, agar anak cucu kita tahu dari mana mereka berasal.”
TMII: Panggung Nasional untuk Budaya Daerah
Pertunjukan ini merupakan bagian dari agenda bulanan TMII dalam program “Panggung Budaya Nusantara”, sebuah inisiatif untuk menampilkan ragam seni dan budaya dari seluruh penjuru Indonesia di jantung Ibu Kota. Dengan renovasi besar yang selesai tahun lalu, TMII kini menjadi lebih dari sekadar taman wisata — ia telah bertransformasi menjadi etalase kebanggaan identitas nasional.
Fajar Nugroho, Direktur TMII, menyatakan bahwa menghadirkan Reog di Jakarta adalah bagian dari tanggung jawab moral untuk mengenalkan budaya lokal kepada masyarakat urban, terutama generasi muda yang mulai asing dengan seni tradisional.
“Kita hidup di era digital, tapi bukan berarti harus meninggalkan akar budaya kita. TMII ingin menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, melalui panggung seperti ini,” ujar Fajar.
Lautan Penonton, Gelombang Emosi
Tak sedikit pengunjung yang datang khusus untuk menyaksikan Reog. Banyak di antaranya adalah perantau asal Jawa Timur yang tinggal di Jabodetabek. Mereka datang membawa keluarga, mengenakan batik, dan menyempatkan waktu di tengah kesibukan hanya untuk merasakan nuansa kampung halaman.
Sri Wahyuni (53), warga Cibubur asal Madiun, datang bersama suami dan dua cucunya. Ia berkaca-kaca saat melihat penari Reog mengibaskan bulu merak di tengah panggung.
“Saya dulu sering lihat Reog di pasar malam dekat rumah. Sekarang, bisa lihat di Jakarta seperti ini, rasanya seperti pulang ke Ponorogo. Anak cucu saya jadi tahu budaya asal neneknya,” ungkapnya haru.
Sementara itu, Ardi (28), pengunjung asal Depok, mengaku baru pertama kali melihat Reog secara langsung.
“Biasanya cuma lihat di YouTube. Tapi lihat langsung, rasanya beda banget! Energinya kuat, mistis, tapi keren,” katanya antusias.

www.service-ac.id
Penampilan yang Penuh Simbol dan Filosofi
Pertunjukan Reog Ponorogo di TMII tidak hanya menampilkan keindahan visual, tetapi juga narasi budaya yang sarat makna. Acara dibuka dengan kidung pembuka dari sinden, dilanjutkan dengan adegan prajurit Jathil, dan klimaksnya adalah kemunculan Singa Barong, simbol raja yang angkuh dan kekuatan magis.
Tiap elemen punya makna:
- Warok melambangkan kebijaksanaan dan penjaga moral.
- Jathil adalah simbol keberanian dan kesetiaan.
- Singa Barong melambangkan kesombongan kekuasaan yang bisa dikalahkan oleh kekuatan rakyat.
Inilah yang menjadikan Reog lebih dari sekadar seni pertunjukan — ia adalah manifestasi nilai-nilai luhur yang masih relevan hingga hari ini.
Upaya Pelestarian dan Pengakuan Dunia
Kehadiran Reog di TMII juga menjadi bagian dari kampanye nasional untuk menjadikan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Pemerintah Indonesia secara resmi telah mengajukan Reog ke UNESCO sejak 2022, dan dukungan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperkuat posisi budaya ini di mata dunia.
Dalam acara tersebut, panitia juga membuka booth edukasi yang berisi informasi sejarah Reog, properti asli yang digunakan dalam pertunjukan, dan dokumenter tentang proses latihan para seniman Reog di Ponorogo.
Generasi Muda, Harapan Budaya ke Depan
Salah satu highlight acara adalah sesi interaktif di mana anak-anak diajak belajar menabuh gamelan dan mencoba topeng Reog. Mereka tampak antusias, tertawa, dan sesekali menirukan gaya penari Reog di atas panggung.
“Kami ingin anak-anak tahu bahwa budaya kita itu keren. Reog bisa jadi kebanggaan, bukan hanya tontonan nostalgia,” ujar Tia Wulandari, relawan komunitas budaya yang ikut menyelenggarakan acara ini.
Penutup: Reog, Nafas yang Tak Pernah Padam
Penampilan Reog Ponorogo di TMII bukan sekadar hiburan akhir pekan. Ia adalah panggilan untuk mengingat siapa kita, dari mana kita berasal, dan apa yang harus kita jaga sebagai bangsa. Di tengah gemuruh modernisasi, Reog adalah napas tradisi yang tidak boleh padam.
Dari Ponorogo untuk Indonesia. Dari panggung TMII untuk dunia.
Karena budaya bukan warisan, melainkan tanggung jawab bersama