
Jakarta, Mata4.com — Meskipun pemerintah Indonesia telah secara tegas melarang impor pakaian bekas melalui berbagai regulasi, kenyataannya Indonesia masih menjadi salah satu negara tujuan utama “pembuangan” pakaian bekas dari negara-negara maju. Fenomena ini bukan hanya memunculkan persoalan ekonomi dan legalitas, tetapi juga menyisakan dampak lingkungan dan sosial yang signifikan.
Data terbaru dari berbagai lembaga pemantau perdagangan global dan organisasi lingkungan menunjukkan bahwa ribuan ton pakaian bekas masih masuk ke Indonesia setiap tahun, baik secara legal maupun ilegal. Banyak di antaranya berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa yang memiliki kelebihan limbah tekstil.
Bukti-Bukti Masuknya Pakaian Bekas
Salah satu laporan yang dirilis oleh organisasi lingkungan internasional Changing Markets Foundation dan GAIA pada pertengahan 2025 mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk dalam daftar lima negara utama di Asia Tenggara yang menerima kiriman pakaian bekas dalam jumlah besar. Mayoritas barang ini tidak lagi dalam kondisi layak pakai, sehingga lebih cocok disebut sebagai limbah tekstil daripada “pakaian preloved”.
Di beberapa pelabuhan dan gudang penyimpanan di wilayah seperti Medan, Batam, dan Surabaya, ditemukan kontainer-kontainer berisi pakaian bekas yang diduga berasal dari luar negeri. Barang-barang ini sering disamarkan sebagai “barang donasi” atau “tekstil daur ulang” untuk mengelabui pengawasan bea cukai dan aparat hukum.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa selama semester I tahun 2025 saja, setidaknya 21 kontainer pakaian bekas ilegal berhasil disita. Modus yang digunakan importir ilegal semakin kompleks, termasuk pemalsuan dokumen dan penggunaan jalur distribusi lintas negara.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Masuknya pakaian bekas impor dalam jumlah besar memberi tekanan besar pada industri tekstil dan UMKM lokal. Produk lokal yang dijual dengan harga kompetitif sering kalah bersaing karena pakaian bekas dijual jauh lebih murah, meskipun kualitasnya rendah dan tidak memiliki jaminan kesehatan atau kebersihan.
Selain itu, sebagian besar pakaian yang masuk tidak dapat digunakan kembali karena rusak atau terkontaminasi. Hal ini menimbulkan tumpukan limbah tekstil yang sulit diurai secara alami, berkontribusi pada pencemaran tanah dan air, serta memperbesar jejak karbon.
Aktivis lingkungan menyebutkan bahwa pakaian berbahan sintetis seperti poliester membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai. Jika dibakar, pakaian ini melepaskan zat kimia berbahaya ke udara, memperparah polusi dan risiko kesehatan masyarakat sekitar.
“Ini bukan lagi sekadar masalah perdagangan ilegal, tetapi juga masalah lingkungan dan keadilan global. Negara-negara maju membuang kelebihan tekstilnya ke negara berkembang seperti Indonesia, dan kita yang menanggung akibatnya,” kata Dwi Rahayu, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Studies (ICES).

www.service-ac.id
Regulasi Sudah Ada, Tapi Penegakan Masih Lemah
Impor pakaian bekas sejatinya sudah dilarang melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022, yang melarang secara tegas impor barang bekas termasuk pakaian. Namun, lemahnya pengawasan dan kurangnya koordinasi antarlembaga membuat aturan ini sering dilanggar.
Pemerintah juga telah beberapa kali melakukan razia pasar dan pengawasan jalur logistik, tetapi perputaran bisnis pakaian bekas masih terjadi secara luas, khususnya di daerah-daerah perbatasan dan pelabuhan bebas.
Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa pihaknya akan meningkatkan kerja sama dengan Bea Cukai, TNI-Polri, dan pemerintah daerah untuk memperketat pengawasan serta menindak tegas pelaku impor ilegal.
Jalan Tengah: Solusi atau Kompromi?
Di sisi lain, sebagian masyarakat menilai bahwa perdagangan pakaian bekas — terutama yang berkualitas dan layak pakai — dapat menjadi solusi ramah lingkungan dalam mengurangi konsumsi tekstil baru. Gerakan thrifting atau belanja barang bekas juga semakin populer di kalangan anak muda sebagai bentuk kesadaran terhadap gaya hidup berkelanjutan.
Namun, para pakar menyebutkan bahwa untuk mendorong thrifting secara sehat, pemerintah perlu membedakan antara perdagangan barang second-hand lokal dan impor ilegal. Thrifting lokal yang mengandalkan sirkulasi dalam negeri dinilai jauh lebih aman dan berkelanjutan daripada menerima limpahan limbah dari luar negeri.
Kesimpulan
Fakta bahwa Indonesia masih menjadi tempat “pembuangan” pakaian bekas dunia menunjukkan adanya celah besar dalam sistem pengawasan dan regulasi. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan sistematis, tidak hanya dengan memperkuat penegakan hukum, tetapi juga dengan membangun kesadaran publik akan bahaya impor pakaian bekas ilegal.
Jika tidak ditangani dengan serius, fenomena ini akan terus merugikan ekonomi lokal, memperburuk pencemaran lingkungan, dan menghambat kemajuan industri tekstil nasional yang sedang berjuang menuju daya saing global.