Jakarta, 15 Juli 2025 – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya untuk memungut pajak dari para pedagang (merchant) yang berjualan di platform mereka. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mulai berlaku pada 14 Juli 2025.
Dalam aturan tersebut, para penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) ditetapkan sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang yang dilakukan oleh merchant. Pemungutan PPh dilakukan dengan tarif 0,5 persen dari omzet bruto setiap pedagang.
Ketentuan Umum dan Batasan
PMK ini menetapkan bahwa hanya pedagang dengan omzet bruto di atas Rp500 juta per tahun yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22. Untuk itu, merchant diwajibkan menyampaikan surat pernyataan kepada platform e-commerce jika omzetnya telah melampaui atau belum mencapai batas tersebut.
Bagi pedagang yang omzetnya masih di bawah Rp500 juta dan menyampaikan surat pernyataan, maka tidak dikenakan pemungutan PPh oleh platform. Namun jika tidak menyampaikan surat pernyataan, maka akan tetap dikenakan pemotongan pajak oleh PPMSE.
Kategori yang Dikecualikan
Terdapat beberapa kategori transaksi yang dikecualikan dari pemungutan pajak, antara lain:
Jasa pengiriman (kurir dan ojek online),
Penjualan pulsa dan kartu perdana,
Penjualan logam mulia, batu permata, dan emas perhiasan,
Pengalihan hak atas tanah dan bangunan,
Barang yang sudah memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) dari DJP.
Tujuan dan Dampak
Penerapan aturan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, memperluas basis pajak dari sektor digital, dan menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha daring dan luring (offline).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diberi kewenangan untuk menunjuk platform yang akan berperan sebagai pemungut pajak dan menentukan ketentuan teknis lanjutan.
“Aturan ini merupakan bagian dari upaya menciptakan keadilan fiskal dan mendukung transformasi digital ekonomi nasional,” ujar Sri Mulyani dalam pernyataan resminya.
Respons Pengusaha dan Masyarakat
Kebijakan ini mendapat respons beragam. Beberapa asosiasi pengusaha seperti Apindo menyambut baik langkah ini sebagai upaya menertibkan ekosistem digital. Namun, sebagian pihak meminta agar implementasinya dilakukan secara hati-hati agar tidak memberatkan UMKM yang baru tumbuh di sektor digital.
Ini Tujuannya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) dari para merchant atau penjual yang berjualan di platform digital. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan dan memperluas basis penerimaan negara di sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat.
Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas perdagangan digital di Indonesia mengalami lonjakan signifikan. Ribuan pelaku usaha kini beralih ke platform e-commerce untuk memasarkan produknya. Namun, pertumbuhan pesat ini belum sepenuhnya diiringi dengan kontribusi pajak yang proporsional dari para pelaku usaha digital.
“Pemerintah perlu memastikan bahwa sektor digital, yang kini menjadi tulang punggung ekonomi, juga berkontribusi terhadap pembangunan melalui kepatuhan pajak,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resminya.
Aturan Baru untuk E-Commerce
Melalui peraturan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, seluruh platform e-commerce—termasuk marketplace besar seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya—wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPh dari transaksi yang dilakukan oleh para penjual di platform mereka.
Pungutan PPh yang dimaksud berlaku untuk transaksi penjualan barang maupun jasa, baik oleh pelaku usaha kecil, menengah, maupun besar. Platform e-commerce bertindak sebagai pemotong atau pemungut pajak (withholding agent), dan berkewajiban menyampaikan laporan secara rutin kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Sri Mulyani menekankan bahwa langkah ini bukanlah bentuk pengenaan pajak baru, melainkan penguatan mekanisme pengawasan dan pelaporan agar transaksi digital lebih transparan dan terdata.
Dampak bagi Merchant dan Konsumen
Bagi para merchant atau penjual, kebijakan ini akan berdampak pada kewajiban pelaporan dan potensi pengurangan penghasilan karena adanya pemotongan PPh secara otomatis. Namun, pemerintah berkomitmen memberikan panduan dan edukasi untuk memastikan para pelaku usaha memahami kewajiban perpajakan mereka.
Sementara itu, bagi konsumen, aturan ini diperkirakan tidak akan berdampak langsung terhadap harga barang atau jasa, karena pungutan PPh dikenakan pada sisi penjual. Namun, dalam jangka panjang, konsumen akan mendapatkan manfaat dari ekosistem digital yang lebih tertib, sehat, dan berkontribusi terhadap pembangunan negara.
Bagian dari Transformasi Pajak Digital
Kebijakan ini juga merupakan bagian dari transformasi digital di bidang perpajakan yang sedang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pemerintah tengah membangun sistem yang lebih canggih untuk memantau transaksi online secara real-time dan mempermudah proses administrasi perpajakan bagi pelaku usaha digital.
Dengan adanya aturan ini, diharapkan penerimaan negara dari sektor digital dapat meningkat, sekaligus menciptakan keadilan bagi seluruh pelaku usaha—baik yang beroperasi secara offline maupun online.
Penutup
Aturan baru ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius mengelola potensi ekonomi digital secara berkelanjutan dan adil. Sri Mulyani menegaskan, partisipasi seluruh pemangku kepentingan sangat penting agar kebijakan ini berjalan efektif, mulai dari pelaku usaha, platform digital, hingga masyarakat sebagai konsumen.
“Digitalisasi ekonomi harus diimbangi dengan digitalisasi kepatuhan. Dengan begitu, seluruh pihak turut serta membangun negeri melalui pajak,” tutup Sri Mulyani.
