
Jakarta, Mata4.com — Sejumlah partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dalam Pemilu 2024 resmi membentuk sebuah wadah bersama bernama Sekretariat Bersama (Sekber) sebagai upaya konsolidasi untuk mendorong penghapusan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Deklarasi ini berlangsung di Jakarta pada Kamis (25/9), dan menandai babak baru dalam perjuangan politik partai-partai kecil yang selama ini merasa terpinggirkan oleh aturan pemilu yang dinilai diskriminatif dan tidak mencerminkan keberagaman suara rakyat.
Pembentukan Sekber merupakan respons terhadap dampak langsung dari aturan parliamentary threshold sebesar 4 persen yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana suara sah jutaan pemilih menjadi “hilang” karena partai pilihannya gagal mencapai ambang batas yang ditentukan. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan kursi di parlemen dan aspirasi politiknya tidak terwakili secara formal.
Menyatukan Suara yang Terpecah
Sekber dibentuk oleh 12 partai non parlemen yang berlatar belakang beragam, mulai dari partai berbasis buruh, mahasiswa, lingkungan, hingga kelompok agama dan nasionalis. Beberapa nama yang tergabung dalam Sekber antara lain:
- Partai Buruh
- Partai Ummat
- Partai Gelora
- Partai Hijau Indonesia
- Partai Masyumi
- Partai Pelita
- Partai Mahasiswa Indonesia
- Partai Kebangkitan Nusantara Rakyat (PKNR)
- Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)
Dengan nama Sekretariat Bersama, mereka berkomitmen menyatukan kekuatan politik dan strategi demi mengadvokasi perubahan sistem pemilu agar lebih demokratis dan inklusif.
“Selama ini, suara rakyat yang memilih kami dianggap tidak penting karena aturan yang terlalu kaku. Kami ingin memastikan bahwa suara tersebut dihargai dan mendapat ruang di parlemen,” ungkap Heri Purnomo, Juru Bicara Sekber, dalam konferensi pers yang digelar usai deklarasi.
Ambang Batas Parlemen: Sumber Ketidakadilan?
Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah persentase minimal suara nasional yang harus dicapai partai politik agar dapat memperoleh kursi di DPR. Di Indonesia, aturan ini dipasang pada angka 4 persen.
Tujuan utama pengenaan ambang batas adalah untuk menghindari fragmentasi parlemen yang terlalu banyak partai kecil sehingga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik. Namun, menurut Sekber dan para pendukungnya, ambang batas saat ini justru menjadi sumber ketidakadilan karena:
- Menghilangkan representasi suara sah jutaan rakyat
- Membatasi keberagaman politik di parlemen
- Memperkuat dominasi partai besar yang sudah mapan
- Membatasi ruang aspirasi kelompok minoritas dan baru
Data resmi menunjukkan bahwa pada Pemilu 2024, lebih dari 13 juta suara sah dari berbagai partai non parlemen tidak menghasilkan kursi legislatif karena partai-partai tersebut gagal melewati ambang batas 4 persen.
“Ini bukan soal keinginan kami untuk duduk di kursi DPR semata, tetapi soal hak politik rakyat untuk didengar. Ambang batas saat ini menyisakan banyak suara rakyat yang ‘terbuang’,” kata Nur Lestari, Ketua Umum Partai Hijau Indonesia.
Perspektif Hukum dan Konstitusi
Sekber berpendapat bahwa pengaturan parliamentary threshold saat ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Selain itu, Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam pandangan Sekber, aturan ambang batas yang menghapus suara rakyat secara signifikan mengabaikan hak-hak dasar ini.
“Kami memandang ambang batas ini bukan hanya soal teknis pemilu, tetapi menyangkut hak asasi politik yang harus dijaga agar demokrasi tetap hidup dan bermakna,” ujar Ridho Baswedan, Ketua DPP Partai Pelita.
Sekber saat ini tengah menyiapkan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan putusan MK dapat membuka ruang untuk perubahan ambang batas.
Pandangan Para Ahli
Para pakar hukum dan politik memberikan berbagai pandangan terkait isu ini. Dr. Yulianto Arbi, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, mengatakan:
“Ambang batas parlemen adalah instrumen politik yang sah, biasanya diterapkan untuk menjaga stabilitas dan mencegah fragmentasi politik. Namun, apabila diterapkan terlalu tinggi, ia bisa mengorbankan hak representasi rakyat dan menimbulkan ketidakadilan sistemik.”
Dari sisi demokrasi, Lembaga Pemilu dan Demokrasi (LPD) menyatakan bahwa penghapusan ambang batas dapat membuka ruang lebih luas bagi keterwakilan kelompok minoritas, perempuan, dan elemen masyarakat yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam politik nasional.
“Sistem yang terlalu eksklusif membatasi keberagaman suara dalam parlemen dan melemahkan kualitas demokrasi,” ujar Direktur LPD, Dewi Kartika.
Respon KPU dan Pemerintah
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyampaikan sikapnya terkait pembentukan Sekber dan wacana penghapusan parliamentary threshold. Komisioner KPU, Idham Holik, menegaskan:
“KPU menghormati dinamika politik dan hukum yang terjadi. Namun, kami menjalankan ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Pemilu yang berlaku. Perubahan aturan ambang batas adalah kewenangan pembuat undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah.”
Pihak pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dan Badan Legislasi DPR RI diketahui tengah meninjau beberapa aspek regulasi Pemilu untuk persiapan Pemilu 2029. Meski demikian, belum ada keputusan final mengenai perubahan ambang batas parlemen.
Agenda dan Strategi Sekber ke Depan
Sekber tidak hanya berencana mengajukan judicial review, tetapi juga akan menggalang konsolidasi nasional dengan berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh politik yang mendukung sistem pemilu inklusif.
Beberapa agenda utama Sekber adalah:
- Menggelar forum diskusi dan seminar publik untuk edukasi politik
- Mengadvokasi revisi UU Pemilu dengan melibatkan partai-partai non parlemen
- Membentuk aliansi dengan organisasi masyarakat sipil yang peduli demokrasi
- Melakukan audiensi dan lobi politik di DPR dan pemerintah
“Kami ingin memastikan bahwa suara rakyat kecil tidak hilang dan demokrasi kita menjadi lebih hidup dan bermakna,” kata Samsul Huda, Ketua Umum PKNR, dalam pernyataan resmi Sekber.
Dampak Sosial dan Politik
Penghapusan atau penurunan ambang batas parlemen diyakini Sekber dapat membawa sejumlah dampak positif, antara lain:
- Meningkatkan kualitas representasi politik di parlemen dengan keberagaman suara
- Memberikan ruang bagi partai-partai baru dan kelompok minoritas
- Memperkuat demokrasi partisipatif dengan menampung aspirasi lebih luas
- Meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem pemilu yang adil dan transparan
Namun, pengamat politik juga mengingatkan bahwa penghapusan ambang batas harus diimbangi dengan mekanisme lain untuk menjaga stabilitas politik dan efektifitas legislatif.
Penutup
Pembentukan Sekber oleh partai-partai non parlemen menandai perjuangan kolektif untuk demokrasi yang lebih adil dan inklusif di Indonesia. Meski mereka belum memiliki kursi di parlemen, mereka bertekad menyuarakan aspirasi rakyat yang selama ini belum tersalurkan secara maksimal.
Dengan Pemilu Serentak 2029 yang semakin dekat, gerakan ini menjadi salah satu sorotan penting dalam dinamika politik nasional, dan akan menentukan bagaimana masa depan demokrasi Indonesia dalam hal representasi politik dan keadilan pemilu.