
Jakarta, Mata4.com — Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Presiden memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Presiden diberi sejumlah kewenangan yang disebut hak prerogatif. Istilah ini merujuk pada hak istimewa presiden yang melekat secara konstitusional dan memungkinkan pengambilan keputusan strategis tanpa perlu persetujuan lembaga lain dalam pelaksanaannya.
Dua bentuk hak prerogatif yang kerap disebut dalam ruang publik adalah amnesti dan abolisi. Namun, kenyataannya, Presiden memiliki berbagai bentuk hak prerogatif lainnya yang berperan besar dalam penyelenggaraan negara, baik di bidang politik, hukum, diplomasi, hingga pertahanan dan keamanan nasional.
Apa Itu Hak Prerogatif Presiden?
Secara terminologis, hak prerogatif berasal dari tradisi ketatanegaraan Inggris dan negara-negara persemakmuran, yang kemudian diadopsi dalam sistem pemerintahan presidensial dengan adaptasi. Di Indonesia, hak prerogatif merupakan wewenang khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadikan Presiden memiliki ruang diskresi dalam mengambil keputusan penting kenegaraan.
Meskipun disebut “prerogatif”, pelaksanaannya dalam negara demokrasi modern tetap tunduk pada prinsip checks and balances. Dalam banyak kasus, hak prerogatif harus melalui pertimbangan atau persetujuan lembaga legislatif dan yudikatif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
1. Amnesti dan Abolisi: Dua Hak Prerogatif yang Sarat Muatan Politik
● Amnesti
Amnesti adalah pengampunan umum yang diberikan oleh Presiden terhadap pelaku tindak pidana tertentu, umumnya yang bermuatan politik. Amnesti tidak hanya menghapus pidana, tetapi juga semua akibat hukum dari perbuatan pidana tersebut. Dalam sejarah Indonesia, amnesti pernah diberikan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Joko Widodo kepada tahanan politik dan aktivis.
● Abolisi
Abolisi adalah tindakan Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang sebelum perkara tersebut diputus pengadilan. Biasanya diberikan kepada individu yang diduga melakukan tindak pidana tertentu, namun karena alasan politis, kemanusiaan, atau kepentingan nasional, Presiden memutuskan untuk tidak melanjutkan proses hukumnya.
Kedua hak ini diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, dan pelaksanaannya mensyaratkan adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Grasi dan Rehabilitasi: Wujud Kemanusiaan dalam Kekuasaan Presiden
● Grasi
Grasi adalah pengampunan atas hukuman pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Presiden dapat memberikan pengurangan, perubahan, atau bahkan penghapusan pidana. Hak ini sering digunakan untuk alasan kemanusiaan, seperti pada narapidana lanjut usia atau penderita penyakit berat.
Menurut Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, dalam memberikan grasi Presiden harus terlebih dahulu mempertimbangkan pendapat dari Mahkamah Agung.
● Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau status hukum seseorang yang dirugikan karena proses hukum, terutama bila terbukti tidak bersalah atau dipulihkan hak-haknya melalui mekanisme hukum.
Presiden memberikan rehabilitasi berdasarkan pertimbangan lembaga hukum terkait, dan hak ini menjadi penting dalam menegakkan prinsip keadilan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
3. Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri: Kekuasaan Kabinet Presiden
Salah satu hak prerogatif yang paling kuat dalam sistem presidensial adalah kewenangan Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri kabinet. Hal ini diatur dalam Pasal 17 UUD 1945, yang menegaskan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR.
Kekuasaan ini memungkinkan Presiden membentuk kabinet sesuai visi-misi dan program prioritas pemerintahannya. Namun, dalam praktiknya, dinamika politik, koalisi partai, dan tekanan publik juga mempengaruhi susunan kabinet.
4. Diplomasi Internasional: Hak Menunjuk dan Menerima Duta Besar
Presiden juga memiliki peran sebagai kepala negara dalam hubungan luar negeri. Dalam konteks ini, hak prerogatif meliputi:
- Mengangkat duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk mewakili Indonesia di luar negeri.
- Menerima duta besar dari negara asing.
Meski keputusan akhir berada di tangan Presiden, pengangkatan duta besar harus mendapat pertimbangan DPR sesuai dengan Pasal 13 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Tujuannya adalah memastikan bahwa wakil diplomatik memiliki integritas dan kapasitas yang sesuai untuk menjalankan fungsi strategis di luar negeri.

5. Menyatakan Perang, Damai, dan Perjanjian Internasional
Presiden juga memiliki kewenangan menyatakan:
- Perang
- Perdamaian
- Perjanjian internasional
Namun, pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945. Kewenangan ini menjadikan Presiden sebagai aktor utama dalam keputusan besar yang menyangkut kedaulatan dan hubungan antarnegara.
6. Mengeluarkan Perppu: Respons Cepat dalam Keadaan Mendesak
Dalam keadaan darurat atau genting, Presiden berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu berlaku seketika dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang. Meski begitu, Perppu tetap harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan dalam masa sidang berikutnya.
Hak ini sangat penting ketika negara menghadapi kondisi luar biasa, seperti bencana alam, krisis ekonomi, atau ancaman keamanan nasional, di mana proses legislasi biasa dianggap terlalu lambat.
7. Memberi Tanda Kehormatan: Simbol Apresiasi Negara
Presiden juga memiliki hak untuk memberikan tanda kehormatan, tanda jasa, dan gelar kehormatan negara kepada warga negara Indonesia maupun pihak asing yang berjasa besar bagi bangsa dan negara. Proses ini dilakukan berdasarkan rekomendasi lembaga terkait, seperti Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta disahkan melalui Keputusan Presiden.
Pemberian tanda jasa ini bukan hanya bersifat simbolik, tetapi juga bagian dari pembentukan budaya penghargaan atas dedikasi dan pengabdian terhadap negara.
Hak Prerogatif dalam Kerangka Demokrasi dan Hukum
Dalam sistem demokrasi konstitusional seperti Indonesia, tidak ada kekuasaan yang benar-benar absolut, termasuk hak prerogatif Presiden. Reformasi pasca-1998 telah menata ulang sistem kekuasaan dengan prinsip keseimbangan antarlembaga, memperkuat peran DPR, Mahkamah Agung, dan lembaga independen lainnya untuk mengawasi jalannya kekuasaan eksekutif.
Hak prerogatif tetap diperlukan untuk menjaga efektivitas pemerintahan dan kestabilan nasional. Namun, pelaksanaannya harus akuntabel, proporsional, dan terbuka terhadap pengawasan publik, agar tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Kesimpulan: Prerogatif Bukan Mutlak, Tapi Amanah Konstitusional
Hak prerogatif Presiden adalah instrumen penting dalam menjalankan fungsi kenegaraan. Meski memberikan kewenangan besar, hak ini bukanlah kekuasaan yang tak terbatas. Ia merupakan amanah konstitusional yang harus dijalankan dengan kehati-hatian, integritas, dan tanggung jawab moral terhadap rakyat.
Dalam konteks demokrasi yang matang, hak prerogatif tidak boleh dimaknai sebagai keistimewaan pribadi Presiden, melainkan sebagai alat untuk menyeimbangkan kebutuhan efisiensi pemerintahan dengan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dan nilai-nilai keadilan.