
Jakarta, 26 Juli 2025 – Kisah hidup publik figur Bidi Soediro kembali menyita perhatian publik. Melalui sebuah wawancara eksklusif yang viral di media sosial, Bidi mengaku bahwa dirinya telah berkali-kali diselingkuhi oleh pasangan selama bertahun-tahun pernikahan. Namun, ia terus memilih untuk bertahan. Demi anak. Demi cinta. Demi apa yang ia sebut sebagai “harapan kecil bahwa suatu hari, dia akan berubah.”
Pengakuan itu memantik reaksi beragam. Sebagian orang menaruh simpati, sebagian lagi menganggap Bidi terlalu lemah karena tak segera pergi. Tapi di balik segala komentar, satu pertanyaan yang sama terus mengemuka: Kapan sebenarnya kita harus melepaskan pasangan?
Pertanyaan ini bukan hanya milik Bidi. Ini adalah pertanyaan ribuan—bahkan jutaan—orang yang hidup dalam hubungan tak sehat. Hubungan yang penuh air mata, pengkhianatan, dan rasa kehilangan diri sendiri.
Bertahan: Antara Cinta, Takut, dan Ilusi
Menurut psikolog klinis Dr. Liana Marlina, M.Psi, bertahan dalam hubungan yang menyakitkan kerap kali bukan karena cinta semata, melainkan karena kombinasi kompleks antara harapan, trauma, dan rasa takut.
“Banyak orang bertahan bukan karena masih mencintai pasangannya, tapi karena takut menghadapi hidup sendirian. Mereka sudah terbiasa dalam hubungan itu, meskipun menyakitkan. Itu yang disebut dengan trauma bonding,” jelasnya.
Trauma bonding adalah kondisi di mana seseorang justru merasa terikat secara emosional dengan orang yang menyakitinya karena hubungan itu dipenuhi siklus antara penyiksaan emosional dan momen-momen “manis” sementara. Ini membuat korban sering ragu: apakah ia sedang menjalani cinta atau sedang terperangkap?
Ketika Perselingkuhan Bukan Lagi Sekali Dua Kali
Dalam kasus Bidi Soediro, yang ia alami bukan satu kali pengkhianatan. Tapi berkali-kali. Dalam wawancara tersebut, ia mengatakan bahwa pernah memaafkan, pernah memberi kesempatan kedua, ketiga, bahkan keempat. Namun semua kembali terulang.
“Saya terus berpikir, mungkin saya kurang ini, kurang itu. Saya salah. Tapi ternyata bukan saya yang kurang—dia yang tak mau berubah,” kata Bidi dengan suara gemetar.
Di sinilah letak jebakan psikologis yang sering terjadi. Korban merasa bersalah atas kesalahan orang lain. Mereka mulai mempertanyakan harga diri sendiri dan menganggap bahwa jika mereka lebih baik, lebih sabar, atau lebih cantik, pasangannya akan setia. Padahal, pengkhianatan adalah pilihan sadar dari pelaku, bukan kesalahan dari yang dikhianati.
Kapan Harus Melepaskan?
Dr. Liana menegaskan bahwa tidak ada waktu “pasti” untuk meninggalkan pasangan. Namun ada tanda-tanda merah (red flags) yang seharusnya tidak lagi diabaikan:
- Ketika perselingkuhan terjadi berulang tanpa pertobatan nyata.
- Ketika Anda merasa kehilangan jati diri, dan tidak lagi tahu siapa Anda di luar hubungan itu.
- Ketika kehadiran pasangan lebih sering membawa rasa takut, sedih, dan curiga dibandingkan rasa aman dan bahagia.
- Ketika pasangan terus menyalahkan Anda atas kesalahan yang mereka buat.
- Ketika Anda hanya bertahan karena takut sendiri, bukan karena ingin bersama.
“Meninggalkan hubungan yang menyakitkan bukan berarti menyerah. Itu adalah bentuk tertinggi dari mencintai diri sendiri,” ungkap Dr. Liana.
Cinta Sejati Tidak Datang dengan Luka Berkepanjangan
Banyak orang terjebak dalam keyakinan bahwa cinta harus diperjuangkan mati-matian, bahkan jika itu berarti mengorbankan kesehatan mental sendiri. Tapi cinta yang sehat tidak datang dengan luka berkepanjangan. Cinta sejati seharusnya membuat Anda tumbuh, bukan membuat Anda hancur perlahan.
Dalam banyak kasus, seperti yang dialami Bidi, terlalu lama bertahan justru menciptakan trauma jangka panjang—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak-anak yang menyaksikan semua itu.
Anak-anak tidak hanya butuh dua orang tua dalam satu rumah. Mereka butuh contoh bagaimana hubungan sehat terlihat, bagaimana cinta dan saling menghargai seharusnya bekerja. Dan itu tidak bisa mereka pelajari jika orang tuanya sendiri hidup dalam kepura-puraan dan penderitaan.
Melepaskan Bukan Akhir, Tapi Awal
Banyak orang takut melepaskan karena berpikir bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Padahal, dalam banyak kasus, melepaskan adalah awal dari pemulihan, awal dari perjalanan untuk mengenal dan mencintai diri sendiri lagi.
“Saya tidak menyesal pernah mencintainya,” ujar Bidi dalam akhir wawancaranya. “Tapi kini, saya ingin mencintai diri saya sendiri lebih dulu. Saya ingin anak saya tahu bahwa ibunya tidak lemah. Dia hanya terlalu lama percaya pada yang salah.”
Kata-kata itu terasa menyentuh, karena datang dari seseorang yang telah melewati luka bertahun-tahun, dan akhirnya memilih untuk bangkit.
Penutup: Jangan Tunggu Terlalu Lelah untuk Pergi
Setiap orang berhak atas cinta yang membahagiakan, bukan menyakitkan. Jika kamu terus diselingkuhi, terus dikhianati, dan terus disalahkan atas luka yang bukan kamu sebabkan—mungkin saatnya berhenti. Bukan karena kamu menyerah, tapi karena kamu pantas bahagia.
Karena kadang, berani meninggalkan adalah bentuk cinta paling tulus—untuk diri sendiri.
Jika Anda Mengalami Kekerasan atau Hubungan Tidak Sehat
Silakan hubungi layanan konseling dan perlindungan terdekat, seperti:
- P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)
- Komnas Perempuan
- Lembaga Psikologi Terapi dan Konseling
- Konsultasi online dengan psikolog melalui aplikasi terpercaya.