
Jakarta, Mata4.com — Gelombang aspirasi buruh kembali mengemuka. Sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam aliansi buruh nasional secara resmi menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan versi mereka kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan pemerintah. Langkah ini diambil sebagai bentuk perjuangan kolektif dalam memperjuangkan perbaikan regulasi ketenagakerjaan yang dianggap belum sepenuhnya berpihak pada pekerja, terutama pasca lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja.
Penyerahan draf dilakukan di kompleks Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, dan diterima langsung oleh perwakilan Komisi IX DPR RI serta sejumlah pejabat dari Kementerian Ketenagakerjaan. Aliansi buruh berharap draf tersebut dapat menjadi bahan utama dalam proses revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang direncanakan pemerintah dan legislatif.
Latar Belakang Aksi: Dari Protes Menuju Solusi
Sejak disahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada 2020 dan diperbaiki menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, gelombang kritik dari serikat buruh terus bergulir. Regulasi tersebut dinilai mengurangi sejumlah perlindungan dasar bagi pekerja, seperti ketentuan pesangon, sistem kerja kontrak, jam kerja fleksibel, dan batasan outsourcing.
Aliansi buruh menilai bahwa kebijakan tersebut lebih mengakomodasi kepentingan pemodal dibanding perlindungan hak-hak pekerja. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk mengambil langkah taktis melalui jalur legislatif, yaitu dengan menyusun dan menyerahkan draf RUU tandingan yang mencerminkan kebutuhan dan aspirasi buruh Indonesia.
“Selama ini kami hanya diposisikan sebagai penerima kebijakan. Hari ini, kami membawa solusi. Draf RUU ini disusun dari hasil konsolidasi buruh di seluruh Indonesia, bukan sekadar bentuk protes,” kata Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dalam konferensi pers usai penyerahan dokumen.
Isi Pokok Draf RUU Ketenagakerjaan Versi Buruh
Draf yang disusun oleh serikat buruh mencakup reformulasi sejumlah pasal yang selama ini dinilai merugikan pekerja. Beberapa poin krusial yang mereka usulkan antara lain:
- Penghapusan sistem kerja kontrak jangka panjang tanpa batasan waktu
Buruh menuntut agar sistem kerja kontrak dibatasi secara tegas dan hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang bersifat temporer, bukan pekerjaan inti. - Pembatasan praktik outsourcing (alih daya)
Draf buruh mengusulkan agar outsourcing hanya berlaku untuk pekerjaan non-esensial atau pendukung (cleaning service, keamanan, dll), tidak untuk pekerjaan utama perusahaan. - Kenaikan dan kepastian pesangon bagi pekerja yang terkena PHK
Draf mengembalikan besaran pesangon seperti diatur dalam UU Ketenagakerjaan lama sebelum Omnibus Law. - Penetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL)
Serikat pekerja menolak penggunaan formula upah minimum berdasarkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dianggap tidak mencerminkan realitas kebutuhan buruh. - Penguatan hak berserikat dan mogok kerja
Draf ini menegaskan bahwa aksi mogok kerja merupakan hak konstitusional dan tidak boleh dikriminalisasi, selama dilakukan sesuai prosedur. - Peningkatan perlindungan bagi pekerja perempuan dan penyandang disabilitas
Termasuk cuti haid, cuti melahirkan, serta fasilitas kerja yang ramah bagi kelompok rentan. - Jaminan sosial ketenagakerjaan yang inklusif
Draf ini juga menekankan pentingnya jaminan sosial, termasuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), agar tidak sekadar menjadi formalitas.
DPR dan Pemerintah Menyambut Baik Usulan Buruh
Perwakilan Komisi IX DPR RI menyampaikan bahwa mereka menghargai inisiatif serikat buruh dalam menyusun draf RUU alternatif. Langkah ini dianggap sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses legislasi, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Kami menerima draf ini sebagai bagian dari masukan masyarakat. Semua aspirasi akan dipertimbangkan dalam pembahasan lebih lanjut,” ujar Anggota Komisi IX, Nurhayati, saat audiensi dengan perwakilan serikat buruh.
Dari pihak pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan juga menyatakan komitmennya untuk mengedepankan prinsip dialog sosial dalam pembahasan revisi regulasi ketenagakerjaan.
“Kami terbuka terhadap semua masukan. Proses ini akan melibatkan forum tripartit, yakni pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Kemnaker, dalam pernyataan tertulis.
Aksi Damai dan Dukungan Publik
Penyerahan draf ini diiringi dengan aksi damai dari ribuan buruh yang datang dari berbagai daerah. Mereka membawa spanduk berisi tuntutan, membacakan petisi, dan menyerukan dialog terbuka antara buruh, pemerintah, dan pengusaha.
Aksi berjalan tertib dengan pengawalan aparat keamanan. Tidak ada laporan insiden. Para buruh juga menekankan bahwa mereka tidak bermaksud mengganggu ketertiban umum, melainkan mengekspresikan hak demokratis sebagai warga negara.
Di luar kalangan buruh, sejumlah akademisi, aktivis HAM, dan organisasi masyarakat sipil juga memberikan dukungan terhadap inisiatif ini. Mereka menilai draf buruh adalah bentuk demokrasi partisipatif yang sehat dan patut diapresiasi.
Harapan ke Depan: Undang-Undang yang Berkeadilan
Melalui langkah ini, serikat buruh berharap pemerintah dan DPR benar-benar mendengar dan mempertimbangkan aspirasi pekerja dalam proses legislasi ke depan. Mereka menginginkan undang-undang ketenagakerjaan yang adil, seimbang antara kepentingan ekonomi dan perlindungan sosial.
“Pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan hak dasar pekerja. Kami ingin kemajuan, tapi yang membawa keadilan,” tutup Said Iqbal.
Kesimpulan
Penyerahan draf RUU Ketenagakerjaan versi buruh menandai babak baru dalam perjuangan pekerja Indonesia: dari aksi protes menuju langkah konstruktif dalam proses hukum. Kini, bola ada di tangan DPR dan pemerintah untuk menjawab aspirasi ini melalui proses pembahasan yang terbuka, demokratis, dan inklusif.