LEDAKAN SMAN 72 - Ratusan siswa mendatangi SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Sabtu (8/11/2025) sore.
Jakarta, Mata4.com — Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menilai peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) yang menyebabkan puluhan orang terluka merupakan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan, bukan sekadar tindak kriminal biasa.
Menurut Halili, peristiwa tersebut menjadi peringatan keras bahwa ancaman ekstremisme di kalangan muda masih nyata, meskipun Indonesia selama tiga tahun terakhir mencatat nol serangan terorisme.
“Dalam tiga tahun terakhir tidak terjadi satu pun serangan teroris di Indonesia. Tapi tragedi di SMA 72 Jakarta menjadi alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi harus selalu dilakukan,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (9/11/2025).
Dugaan Arah ke Aksi Terorisme
Halili menjelaskan, beberapa elemen dalam peristiwa tersebut menunjukkan indikasi keterkaitan dengan ideologi kekerasan global.
Nama-nama seperti Brenton Tarrant (pelaku teror di Selandia Baru) dan Alexandre Bissonnette (pelaku teror di Kanada), serta tulisan “Welcome to Hell” yang ditemukan pada senapan mainan milik terduga pelaku, menurutnya, menegaskan adanya inspirasi dari aksi teror internasional.
“Tragedi ini bukanlah peristiwa kriminal biasa, tetapi patut diduga mengarah pada terorisme,” tegas Halili.
Pentingnya Pencegahan dan Literasi Kebangsaan
Setara Institute menilai, derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi membuat pencegahan keterpaparan ekstremisme di kalangan muda semakin kompleks.
Karena itu, Halili mendorong penguatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan secara masif.
“Upaya peningkatan literasi kebangsaan dan penghormatan terhadap perbedaan harus dilakukan secara luas untuk mencegah keterpaparan ideologi ekstremisme-kekerasan,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa anak muda perlu dibekali kemampuan berpikir kritis dan penerimaan atas keberagaman (acceptance).
Ketidaksetujuan terhadap keyakinan, pandangan, simbol, atau ritual berbeda tidak boleh dijadikan alasan untuk menyakiti atau meniadakan keberadaan pihak lain.
Data Riset: Tren Intoleransi di Kalangan Remaja
Setara Institute mengutip hasil survei tahun 2023, yang menunjukkan:
- 24,2% remaja masuk kategori intoleran pasif
- 5% intoleran aktif
- 0,6% telah terpapar ideologi ekstremisme
Meskipun tingkat toleransi remaja masih tergolong tinggi (70,2%), Setara mencatat peningkatan signifikan pada kategori intoleran aktif dan terpapar ekstremisme dibandingkan survei tahun 2016.
Pada 2016, hanya 2,4% remaja tergolong intoleran aktif, namun kini naik menjadi 5%, sementara kelompok terpapar meningkat dari 0,3% menjadi 0,6%.

Kritik terhadap Program Pemerintah
Dalam pandangan Setara Institute, program pencegahan ekstremisme di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai belum efektif dan cenderung melemah.
Hal ini diduga dipengaruhi oleh kebijakan efisiensi anggaran serta keyakinan semu atas capaian “zero terrorist attack”.
“Kejadian di SMA 72 Jakarta merupakan peringatan keras bahwa pencegahan ekstremisme kekerasan harus selalu ditempatkan sebagai program prioritas,” ujar Halili.
Dorongan Aktivasi RAN-PE dan RAD-PE
Halili mendorong pemerintah untuk segera mengaktifkan dan mengoptimalkan implementasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) serta Rencana Aksi Daerah (RAD-PE) di berbagai wilayah.
Menurutnya, upaya ini harus melibatkan kolaborasi lintas sektor dan lintas aktor, termasuk pemerintah daerah, lembaga pendidikan, serta masyarakat sipil.
“Seluruh pihak harus saling menguatkan wawasan kebinekaan dengan kolaborasi tiga pilar kepemimpinan: politik, birokratik, dan kemasyarakatan,” ujarnya.
Soroti Isu Perundungan di Sekolah
Setara juga menyoroti fakta bahwa terduga pelaku merupakan siswa berusia 17 tahun yang kerap menjadi korban perundungan (bullying).
Hal ini, menurut Halili, harus menjadi perhatian serius bagi lembaga pendidikan, terutama di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen).
“Kita semua tidak boleh memberi toleransi sekecil apa pun terhadap perundungan di sekolah,” tegasnya.
Ia menambahkan, praktik perundungan tidak hanya melukai korban, tetapi dapat memicu resiprokalitas (balas dendam) dan bahkan mendorong korban pada ekstremisme-kekerasan, sebagaimana tercermin dalam tragedi SMA 72 Jakarta.
Setara Institute menegaskan bahwa pencegahan ekstremisme harus menjadi agenda nasional lintas generasi.
Tragedi SMA 72 Jakarta menjadi peringatan moral dan kebijakan bahwa keamanan nasional tidak hanya bergantung pada aparat, tetapi juga pada daya tahan sosial, literasi toleransi, dan kepedulian di lingkungan pendidikan.
