
Jakarta, Mata4.com — Belum genap satu musim tanam, Danantara telah meninggalkan kursi empuk Direktur Utama PT Agri Industri Nasional (Agrinas). Keputusan mendadak ini bukan hanya mengejutkan internal perusahaan, tetapi juga menyita perhatian publik yang sempat menaruh harapan pada arah baru BUMN strategis di bidang pertanian ini.
Sejak dilantik pada awal tahun 2025, Danantara dikenal sebagai figur muda yang dinamis dan berani mengambil risiko. Sosoknya digadang-gadang sebagai wajah baru BUMN: progresif, digital-minded, dan berorientasi pada hasil nyata di lapangan. Namun, harapan itu runtuh lebih cepat dari yang dibayangkan.
Kini, yang tertinggal adalah tanya dan tanda seru: apa yang sebenarnya terjadi?
Mimpi yang Terlalu Maju untuk Sistem yang Terlalu Lambat
Dalam wawancara eksklusif terbatas yang digelar di sebuah kedai kopi di bilangan Jakarta Selatan, Danantara tampak tenang namun jujur. Ia tak ingin menyalahkan siapa pun, tetapi secara implisit menunjukkan bahwa sistem yang lamban dan terlalu berhati-hati menjadi salah satu alasan utamanya mundur.
“Saya bukan orang yang suka setengah-setengah. Ketika saya tahu ruang gerak saya terbatas—entah karena birokrasi, konflik kepentingan, atau ketidaksiapan menerima ide baru—maka pilihan terbaik adalah memberi jalan pada orang lain,” ujarnya.
Menurut Danantara, perubahan nyata di sektor pertanian tidak bisa menunggu. Inovasi, efisiensi, dan keberanian mengambil keputusan harus menjadi prioritas. Ia sempat mengusulkan beberapa reformasi penting—seperti skema pembiayaan baru berbasis hasil panen, digitalisasi distribusi pupuk, hingga kolaborasi dengan platform agritech swasta. Namun, gagasan-gagasan tersebut mendapat resistensi dari internal dan pemangku kepentingan di sekitar Agrinas.
“Sistemnya terlalu defensif. Saya bisa paham kehati-hatian itu. Tapi kalau semuanya ditunda, kapan petani bisa menikmati hasilnya?”
Program Unggulan yang Terlanjur Tertahan
Salah satu inisiatif Danantara yang paling mencuri perhatian adalah program AgriConnect, sebuah ekosistem digital yang mengintegrasikan petani, distributor, koperasi, hingga pembeli dalam satu platform berbasis data. Tujuannya: memangkas rantai pasok yang panjang, mengurangi kebocoran distribusi, dan memastikan harga jual yang lebih adil bagi petani.
Proyek ini bahkan sudah melalui tahap uji coba di tiga wilayah: Subang (Jawa Barat), Takalar (Sulawesi Selatan), dan Dompu (NTB). Respons petani sangat positif, terutama karena mereka bisa melihat harga pasar secara real-time dan menerima pembiayaan langsung tanpa perlu perantara.
Namun sayangnya, proyek ini belum sempat dikembangkan secara nasional. Menurut sumber internal, hambatan utama datang dari “ketidaksiapan infrastruktur internal Agrinas” serta perdebatan panjang mengenai skema bagi hasil dan keterlibatan swasta.
“Sebenarnya inisiatifnya bagus. Tapi belum semua pihak di dalam siap dengan perubahan besar seperti itu,” ujar seorang pejabat di lingkungan BUMN yang tak ingin disebutkan namanya.

www.service-ac.id
Politik di Balik Pangan
Sejumlah analis menduga, lebih dari sekadar perbedaan visi, posisi Direktur Utama Agrinas memang berada dalam pusaran tarik-menarik kekuasaan. Sebagai BUMN yang berada di jantung kebijakan ketahanan pangan nasional, Agrinas bukanlah entitas bisnis biasa. Ia beroperasi dalam ruang yang dipenuhi kepentingan politik, ekonomi, bahkan elektoral.
Menurut pengamat politik ekonomi dari Universitas Paramadina, Dr. Tania Mahardika, keputusan Danantara untuk mundur bisa jadi merupakan bentuk “penolakan halus” terhadap tekanan politik yang terlalu besar.
“Jabatan Dirut di perusahaan seperti Agrinas bukan hanya soal bisnis. Itu posisi strategis, yang sering kali menjadi bagian dari kompromi politik,” ujarnya. “Ketika seseorang datang dengan visi profesional murni, tapi tak punya beking politik, sangat mungkin dia tergilas sistem.”
Hal ini senada dengan pernyataan mantan komisaris Agrinas periode 2020–2024 yang mengatakan bahwa sejak awal, kursi Dirut selalu menjadi bagian dari ‘paket kekuasaan’.
“Kita masih belum punya tradisi membiarkan profesional bekerja dengan tenang. Setiap kebijakan strategis selalu dibayang-bayangi pertanyaan: ini menguntungkan siapa?”
Apa Selanjutnya untuk Agrinas?
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pengumuman resmi dari Kementerian BUMN terkait pengganti Danantara. Namun sumber internal menyebut bahwa posisi tersebut akan diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) sambil menunggu seleksi terbuka yang kabarnya akan dilakukan lebih transparan.
Sementara itu, sejumlah pihak khawatir kepergian Danantara bisa membuat proyek-proyek inovatif yang sudah dimulai menjadi stagnan atau bahkan dibatalkan.
“Kami sudah berharap banyak. Baru kali ini ada Dirut yang turun langsung ke sawah, bicara dengan petani, dan tidak canggung membahas teknologi,” kata Haji Ruhman, ketua koperasi tani di Indramayu yang sempat bekerja sama dengan program AgriConnect.
Pelajaran dari Seumur Jagung
Kisah Danantara di Agrinas barangkali terlalu singkat untuk memberikan dampak struktural. Namun kepergiannya meninggalkan pesan kuat: bahwa perubahan tidak selalu bisa ditopang oleh satu orang, secerdas atau seberani apa pun dia. Dibutuhkan sistem yang siap, ekosistem yang mendukung, dan komitmen politik yang tulus jika BUMN strategis seperti Agrinas ingin benar-benar berubah.
“Saya tidak kecewa, hanya menyayangkan. Kita terlalu sering menggagalkan perubahan hanya karena tidak siap repot,” ucap Danantara menutup wawancara.
Meninggalkan Agrinas bukan berarti ia menyerah. Menurutnya, perjuangan untuk memajukan pertanian Indonesia tetap harus dilanjutkan—dari dalam atau luar sistem.
Danantara boleh saja pergi, tapi gagasannya telah tertanam. Tinggal kini, siapa yang berani menyiram dan menjaganya tumbuh?
Catatan Redaksi
PT Agri Industri Nasional (Agrinas) merupakan BUMN klaster pangan yang didirikan pada tahun 2020 sebagai bagian dari upaya pemerintah memperkuat ketahanan pangan dan mempercepat hilirisasi pertanian. Sejak awal berdiri, Agrinas kerap menghadapi tantangan besar dalam hal koordinasi lintas kementerian, pendanaan, serta tumpang tindih kewenangan antar lembaga.