Bekasi, Mata4.com – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/11/2025).
Persidangan kali ini menghadirkan Senior Expert 2 Pertamina sekaligus auditor internal perusahaan, Wawan Sulistyo Dwi, sebagai saksi.
Fakta baru terungkap dalam sidang: nilai potensi kerugian Pertamina sebesar Rp217 miliar yang disebut dalam dakwaan ternyata bersumber dari data lama, sebelum dilakukan reevaluasi dan renegosiasi kontrak kerja sama antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak (OTM).
Perhitungan Berdasarkan Kajian Lama
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan dasar perhitungan potensi kerugian kerja sama antara Pertamina dan PT OTM pada periode November 2014–November 2015, yang mencapai US$16,6 juta atau sekitar Rp217 miliar.
Menjawab hal itu, Wawan menjelaskan bahwa perhitungan tersebut bersumber dari kajian tim Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (UI).
Kajian itu menyebutkan nilai throughput fee berada pada kisaran US$6,3 hingga US$6,77 per kiloliter, sementara kontrak Pertamina–OTM ditetapkan sebesar US$6,5 per kiloliter.
“Atas angka itu, kami melakukan pengujian. Jadi kami melakukan apa yang dilakukan Pranata UI, kita lihat kertas kerjanya seperti apa, dari mana dokumen sumbernya, dan kita melakukan perhitungan ulang,” ujar Wawan di hadapan majelis hakim.
Kuasa Hukum Pertanyakan Validitas Data
Kuasa hukum beneficial ownership PT Tangki Merak (TM) dan PT Oiltanking Merak (OTM), Patra M Zen, kemudian mencecar Wawan terkait data yang digunakan dalam audit.
“Dia yang laporan pertama yang Bapak gunakan atau laporan yang setelah diperbaiki?” tanya Patra.
Wawan menjawab bahwa data audit bersumber dari laporan awal Pranata UI pada Maret 2014.
Ketika Patra menanyakan apakah hasil tersebut sudah pernah direvisi, Wawan mengaku audit internal Pertamina memang pernah melakukan reevaluasi, namun dirinya tidak terlibat langsung dalam proses tersebut.
“Saya sebenarnya tidak melakukan reevaluasi langsung, Pak. Karena pas surat tugas ini, ini saya hanya yang per laporan ini gitu, Pak,” jelasnya.

Reevaluasi dan Renegosiasi Tak Diketahui Detailnya
Patra kemudian menyinggung hasil reevaluasi throughput fee yang disebut menghasilkan angka jauh lebih rendah dari kajian awal UI, yakni US$5,49 per kiloliter.
Namun, Wawan mengaku tidak mengetahui secara pasti hasil reevaluasi maupun proses renegosiasi kontrak antara Pertamina dan OTM.
“Reevaluasi itu saya tahu, Pak, bahwa ada reevaluasi. Tapi kalau misalkan angkanya, detailnya begitu saya enggak tahu,” ungkapnya.
Ia juga mengaku tidak mengetahui adanya tunggakan pembayaran kepada PT OTM setelah penandatanganan kontrak hingga 2017.
Menurutnya, pembayaran belum dilakukan hingga tahun 2015, sesuai periode audit yang ia tangani.
“Kalau sampai dengan tahun 2015, Pak, saya tahu bahwa itu belum dibayar. Karena saya auditnya sampai tahun 2015, Pak,” kata Wawan.
Tidak Tahu Ada Renegosiasi
Dalam pemeriksaan lebih lanjut, Patra M Zen kembali menegaskan apakah Wawan mengetahui perubahan nilai throughput setelah renegosiasi kontrak dilakukan.
“Mengenai prosesnya, mengenai setelah dokumen ini ditandatangani, mengenai ada reevaluasi, mengenai ada renegosiasi, Bapak enggak tahu ya?” tanya Patra.
“Saya tidak mengetahui, Pak,” jawab Wawan.
Jawaban itu memperkuat dugaan bahwa nilai potensi kerugian Rp217 miliar yang menjadi dasar dakwaan belum memperhitungkan hasil renegosiasi terbaru antara Pertamina dan OTM.
Konteks Perkara
Kasus dugaan korupsi ini bermula dari kerja sama pengelolaan terminal minyak antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak (OTM) pada 2014–2015.
Jaksa menduga terdapat penyimpangan dalam penetapan throughput fee dan mekanisme kerja sama, yang dinilai merugikan keuangan negara.
Selain Wawan, sejumlah mantan pejabat Pertamina dijadwalkan akan dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan.
