
Semarang, Mata4.com — Hari ini menjadi momen krusial dalam perjalanan hukum kasus penembakan yang mengguncang Kota Semarang. Di ruang sidang Pengadilan Negeri Semarang, publik menanti dengan penuh harap sidang pembacaan vonis terhadap Aipda Robig Zaenudin, anggota Polrestabes Semarang yang didakwa menembak mati seorang pelajar SMKN 4, berinisial GRO (17), dan menyebabkan luka berat terhadap dua rekannya.
Kasus ini bukan hanya persoalan hukum biasa. Ia menyentuh ranah yang lebih dalam: kekerasan aparat, perlindungan anak, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Kronologi Penembakan: Dari “Pembubaran Tawuran” ke Tembakan yang Merenggut Nyawa
Insiden tragis ini terjadi pada malam hari, 23 November 2024. Kala itu, Aipda Robig dan rekan-rekannya sedang melakukan patroli. Mereka mendapati sejumlah pelajar yang menurut klaim aparat “terlibat dalam tawuran.” Namun, berdasarkan sejumlah keterangan saksi, tidak ada bukti visual atau saksi independen yang menyatakan bahwa para pelajar membawa senjata atau sedang berkonflik.
Dalam proses pengejaran, Aipda Robig melepaskan beberapa tembakan dengan senjata api. Satu peluru menghantam panggul GRO, yang akhirnya dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit. Dua pelajar lain mengalami luka serius di bagian dada dan tangan kiri.
Tragedi itu langsung menyita perhatian nasional. Banyak pihak mempertanyakan mengapa tindakan ekstrem seperti penggunaan senjata api digunakan terhadap pelajar yang tidak bersenjata.
Proses Hukum: Dakwaan Berlapis untuk Tindak Kekerasan
Aipda Robig didakwa dengan pasal berlapis, termasuk:
- Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
- Pasal 338 KUHP (Pembunuhan),
- dan Pasal 351 KUHP (Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian).
Dakwaan ini menunjukkan bahwa penembakan terhadap anak di bawah umur dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum pidana umum maupun hukum khusus tentang perlindungan anak.
Upaya Hukum dan Penolakan Eksepsi
Pada 8 April 2025, Aipda Robig menjalani sidang perdana. Dalam sidang tersebut, kuasa hukum terdakwa mencoba menggugurkan dakwaan dengan mengajukan eksepsi atau keberatan hukum, menyebut dakwaan jaksa kabur dan tidak konsisten, seperti perbedaan istilah “saling kejar” dengan “dikejar”.
Namun, majelis hakim menolak eksepsi tersebut, menyatakan bahwa dakwaan sudah cukup jelas dan memenuhi syarat formil untuk dilanjutkan ke tahap pembuktian. Proses hukum terus bergulir hingga hari ini, ketika vonis akan dibacakan.
Tuntutan Jaksa: 15 Tahun Penjara dan Denda
Pada sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjatuhkan tuntutan pidana penjara selama 15 tahun terhadap Aipda Robig. Selain itu, jaksa juga menuntut terdakwa membayar denda sebesar Rp200 juta, subsider 6 bulan kurungan tambahan jika tidak dibayar.
Yang menarik, jaksa menyebut bahwa tidak ada satu pun hal yang meringankan bagi terdakwa. Dalam pandangan jaksa, tindakan terdakwa sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan anak, serta mencederai kepercayaan publik terhadap aparat kepolisian.
Reaksi Masyarakat: Duka, Marah, dan Menuntut Reformasi
Sejak insiden terjadi, kasus ini menjadi simbol keresahan masyarakat terhadap penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian, terutama dalam menangani anak-anak dan remaja. Banyak yang mempertanyakan mengapa pelajar bisa ditembak mati tanpa peringatan, dan mengapa tindakan itu dilakukan oleh aparat yang seharusnya dilatih untuk meredam konflik secara proporsional.
Orangtua korban, dalam pernyataan emosionalnya, menyebut bahwa GRO adalah anak yang cerdas dan tidak pernah terlibat dalam kenakalan remaja. Mereka berharap vonis yang dijatuhkan bisa memberikan rasa keadilan—tidak hanya untuk keluarga, tetapi juga bagi para pelajar lain yang merasa tidak aman.

www.service-ac.id
Sisi Lain: Pembelaan dari Pihak Terdakwa
Kuasa hukum Aipda Robig menyatakan bahwa kliennya tidak memiliki niat membunuh, dan hanya bertindak untuk menghalau tawuran. Namun argumen tersebut sulit diterima oleh publik karena:
- Para korban tidak terbukti membawa senjata.
- Tidak ada ancaman langsung terhadap aparat.
- Tembakan diarahkan secara langsung, bukan sebagai tembakan peringatan.
Hal ini membuat pembelaan dianggap tidak proporsional dengan akibat yang ditimbulkan.
Lembaga Negara dan Komnas HAM Angkat Bicara
Kasus ini turut menjadi perhatian Komnas HAM, yang menilai bahwa peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap anak. Komnas HAM mendesak agar Polri melakukan evaluasi besar-besaran terhadap penggunaan senjata api dalam penanganan kasus sipil.
Sementara itu, beberapa anggota DPR dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa vonis terhadap Robig akan menjadi cermin bagi upaya reformasi penegakan hukum di tubuh Polri, serta akan menjadi preseden penting bagi perlindungan anak di Indonesia.
Penantian Vonis: Ujian Bagi Sistem Hukum
Hari ini, semua mata tertuju ke ruang sidang. Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Mira Sendangsari akan menjadi penentu arah—apakah hukum mampu berdiri tegak, atau kembali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Jika vonis ringan dijatuhkan, maka dikhawatirkan akan menciptakan preseden buruk yang memberi kesan bahwa aparat bisa lolos dari jerat hukum meskipun telah menghilangkan nyawa anak-anak. Sebaliknya, jika vonis berat dijatuhkan, maka ini bisa menjadi babak baru dalam reformasi aparat penegak hukum.
Penutup
Kasus Aipda Robig bukan hanya soal satu pelajar yang tewas. Ini adalah gambaran bagaimana aparat menggunakan kewenangannya, dan bagaimana sistem hukum meresponsnya. Hari ini, publik menanti: apakah keadilan akan ditegakkan untuk GRO dan keluarganya?
Putusan sidang hari ini akan menjadi cermin wajah hukum Indonesia, antara harapan keadilan dan kenyataan di ruang sidang.