
Jakarta, Mata4.com — Di tengah berbagai tantangan bangsa mulai dari krisis iklim, perlambatan ekonomi, hingga ketimpangan sosial yang makin nyata, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali menunjukkan wajah yang membuat rakyat mengelus dada. Dalam sorotan tajam masyarakat, lembaga legislatif itu dinilai tidak hanya gagal memenuhi harapan publik, tetapi juga secara terang-terangan memamerkan absurditas kebijakan yang menampar akal sehat: kerja minim, tunjangan menjulang.
DPR dan Produktivitas yang Mandek
Berdasarkan laporan kinerja semester I tahun 2025 yang dirilis Sekretariat Jenderal DPR RI, dari 60 Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hanya 9 RUU yang berhasil disahkan. Bahkan, sebagian besar hanya dibahas secara formalitas, tanpa kajian mendalam, partisipasi publik yang memadai, atau proses deliberasi yang transparan.
Beberapa RUU penting seperti RUU Energi Terbarukan, RUU Perlindungan Pekerja Informal, dan RUU Reformasi Agraria tak kunjung menemui titik terang. Ironisnya, DPR justru lebih cepat dalam membahas dan menyetujui revisi peraturan yang berkaitan dengan peningkatan tunjangan, fasilitas, dan anggaran operasional para anggota dewan.
Dalam rapat paripurna awal Agustus lalu, mayoritas fraksi menyetujui usulan peningkatan tunjangan komunikasi intensif, peningkatan plafon anggaran reses daerah pemilihan (dapil), serta penambahan anggaran untuk kendaraan dinas yang kini termasuk kendaraan listrik kelas premium. Keputusan itu diambil dalam waktu singkat, tanpa perdebatan alot—berbanding terbalik dengan pembahasan RUU yang berdampak luas pada publik.
“Kerja Lemah, Gaji Gagah”: Realita Wakil Rakyat
Kondisi ini membuat banyak kalangan mempertanyakan moralitas dan keberpihakan DPR. Dengan tunjangan bulanan anggota DPR mencapai lebih dari Rp120 juta ditambah berbagai fasilitas non-gaji seperti rumah dinas, staf ahli, anggaran kunjungan luar negeri, dan asuransi lengkap, citra wakil rakyat kian menjauh dari rakyat.
Kinerja pengawasan juga tak kalah menyedihkan. Banyak kasus besar seperti skandal pertambangan ilegal, penyalahgunaan bansos, dan praktik mafia pangan yang tidak mendapatkan perhatian serius dari parlemen. Sebagian besar rapat pengawasan dilakukan sekadar untuk formalitas, tanpa tindak lanjut yang jelas.
Dr. Ayu Saraswati, pakar politik dari Universitas Indonesia, menyebut fenomena ini sebagai bentuk “sirkus akal sehat” dalam demokrasi Indonesia.
“Ini bukan lagi soal kinerja, tapi soal etika bernegara. Ketika mereka gagal menjalankan mandat rakyat namun tetap menuntut kenaikan fasilitas, berarti ada yang sangat salah dalam sistem dan budaya politik kita,” ujar Ayu.
Ia menambahkan bahwa DPR saat ini lebih sibuk mengurus “kenyamanan personal” daripada kepentingan nasional.
Aksi Protes dan Sindiran Publik
Respons publik pun tidak bisa dianggap enteng. Sejumlah kelompok masyarakat sipil, mahasiswa, hingga organisasi buruh menggelar aksi protes teatrikal di depan Gedung DPR. Mereka mengenakan kostum badut, membawa poster bertuliskan “Kerja Lemes, Tunjangan Ngenes” dan “DPR: Dewan Pemanjat Rezeki.”
Di media sosial, tagar seperti menjadi trending topic nasional. Rakyat secara terbuka mempertanyakan relevansi lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi suara publik, namun kini dianggap lebih mewakili kepentingan sendiri dan kelompok elit.
Seorang netizen menulis,
“Kami antri sembako, kalian antri tunjangan. Kami bergelut dengan kenaikan harga, kalian bergelut dengan revisi fasilitas. Siapa yang sebenarnya kalian wakili?”

www.service-ac.id
Ancaman Apatisme Demokrasi
Fenomena ini juga dinilai mengancam kualitas demokrasi secara jangka panjang. Ketika rakyat melihat bahwa partisipasi politik tidak lagi berdampak terhadap kebijakan publik, maka sikap apatis dan sinisme akan tumbuh subur. Ini berbahaya bagi proses demokratisasi yang sehat.
Lembaga Survei Indonesia mencatat penurunan signifikan kepercayaan publik terhadap DPR. Dalam survei nasional terakhir, hanya 23% responden yang menganggap DPR bekerja sesuai mandat rakyat—angka terendah sejak era reformasi.
“Jangan sampai pemilu hanya jadi rutinitas lima tahunan tanpa substansi. Demokrasi kehilangan maknanya ketika wakil rakyat tidak benar-benar mewakili,” kata Direktur Eksekutif LSI, Burhanuddin Rafiq.
Desakan Reformasi dan Transparansi Anggaran
Melihat kondisi ini, sejumlah LSM dan akademisi mendorong evaluasi sistem tunjangan dan kinerja DPR. Mereka meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan anggaran DPR, serta mengevaluasi mekanisme pengambilan keputusan terkait tunjangan.
Organisasi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menyarankan pembentukan badan independen untuk menilai dan mengukur kinerja anggota DPR secara berkala, serta mengaitkan tunjangan mereka dengan indikator pencapaian kinerja.
Tanpa adanya pembenahan sistemik, siklus sirkus politik ini akan terus berulang: kerja minor, tunjangan menjulang, dan kepercayaan publik menghilang.
Penutup: Saatnya Rakyat Bersikap
Di tengah keterpurukan moral sebagian elit, harapan kini bergantung pada kesadaran kolektif rakyat untuk menuntut perubahan. Demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi juga mengawasi dan mengoreksi. Jika DPR lupa siapa yang mereka wakili, maka rakyat punya hak dan tanggung jawab untuk mengingatkan—dengan suara, dengan aksi, dan dengan pilihan.