Bekasi, Mata4.com – Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah, menilai dugaan permainan dalam sektor perpajakan yang menyeret nama bos Djarum, Victor Rachmat Hartono, bukanlah pola baru dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, skema kerja sama gelap antara oknum pejabat pajak dan korporasi telah lama menjadi praktik bayangan yang merugikan negara, sehingga Kejaksaan Agung (Kejagung) semestinya memahami betul bagaimana modus tersebut dijalankan.
Hery menegaskan bahwa pola serupa tampak pada dugaan skandal pajak yang melibatkan PT Djarum serta mantan Dirjen Pajak periode 2016–2020, Ken Dwijugiasteadi. Ia menjelaskan, celah yang seharusnya menjadi sumber pemasukan negara justru kerap disulap menjadi ruang kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. “Permainan lama semacam ini tentu dipahami pihak Kejagung, bagaimana upaya untuk tipu muslihat dalam sesuatu yang seharusnya menjadi pemasukan bagi negara tetapi justru masuk ke kantong pribadi,” ujarnya kepada Inilah.com, Minggu (23/11/2025).
Ia menyebut publik tidak akan puas bila perkara ini bergulir tanpa kejelasan, terutama karena sampai saat ini belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Minimnya perkembangan, kata Hery, hanya akan menimbulkan ruang tanya di tengah masyarakat. Ia juga mengingatkan bahwa kehati-hatian dalam proses penyidikan tidak boleh menghilangkan urgensi kecepatan. “Kehilangan momen bisa berarti kehilangan momentum bagi suatu penanganan perkara hukum itu sendiri,” tambahnya.

Kejagung sebelumnya telah mengajukan pencekalan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi terhadap lima orang yang diduga terlibat dalam pusaran skandal pajak periode 2016–2020, termasuk Ken Dwijugiasteadi. Plt Dirjen Imigrasi, Yuldi Yusman, membenarkan pencegahan tersebut. Selain Ken, empat nama lainnya yakni Bernadette Ning Dijah Prananingrum (Kepala KPP Madya Dua Semarang), Victor Rachmat Hartono (Direktur Utama PT Djarum), Heru Budijanto Prabowo (Komisaris PT Graha Padma Internusa, anak usaha Grup Djarum), dan Karl Layman (pemeriksa pajak muda DJP).
Pencekalan lima individu tersebut dinilai penting untuk mendukung penyidikan dugaan korupsi terkait pengurangan kewajiban pembayaran pajak perusahaan pada 2016–2020 oleh oknum Direktorat Jenderal Pajak. Upaya pencegahan berlaku sejak 14 November 2025 hingga 14 Mei 2026, dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan proses hukum.
Selain melakukan pencegahan, tim penyidik Jampidsus Kejagung juga telah menggeledah sejumlah lokasi untuk mencari bukti tambahan. Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyampaikan bahwa penggeledahan dilakukan untuk menelusuri dugaan tindak pidana korupsi dalam upaya memperkecil kewajiban perpajakan perusahaan atau wajib pajak pada periode tersebut.
Dengan semakin banyaknya langkah penegakan yang dilakukan, publik kini menanti ketegasan Kejagung dalam menetapkan tersangka dan mengungkap secara terang jalannya skema yang diduga merugikan negara ini. Skandal pajak yang menyeret nama besar dari sektor swasta dan pejabat negara ini diyakini menjadi salah satu ujian besar dalam komitmen pemberantasan korupsi di bidang perpajakan.
