
Batam, Mata4.com —Dunia jurnalistik kembali diguncang dengan serangan teror yang berbeda dari biasanya. Tidak melibatkan ancaman fisik atau kekerasan verbal secara langsung, melainkan melalui skema digital yang masif dan sistematis. Setidaknya tiga kantor media daring di wilayah Batam dan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, menjadi korban serangan order fiktif layanan pengiriman instan GoSend dan GrabExpress dalam jumlah besar.
Modus ini tidak hanya menyusahkan redaksi, tetapi juga merugikan ratusan driver ojek online (ojol) yang datang silih berganti ke lokasi kantor dengan harapan mengantar barang, yang pada kenyataannya tidak pernah dipesan
Kronologi Teror Order Fiktif: Dari Batam ke Tanjungpinang
1. Batamnews.co.id – Teror Dimulai
Pada Minggu pagi, 27 Juli 2025, kantor media Batamnews.co.id di kawasan Batam Center mulai didatangi oleh puluhan pengemudi ojol. Mereka datang secara bergelombang sejak pukul 08.00 WIB hingga sore hari. Rata-rata dari mereka menunjukkan bukti order pengiriman dokumen dari aplikasi GoSend dan GrabExpress yang ditujukan ke alamat kantor redaksi, dengan nama pemesan dan keterangan yang identik.
Redaksi Batamnews langsung menyadari ada kejanggalan. Mereka tidak melakukan pengiriman atau pemesanan layanan sama sekali. Situasi pun mulai tidak terkendali ketika lebih dari 100 driver berdatangan dalam satu hari. Mereka kebingungan, karena merasa telah menerima order resmi dari aplikasi.
2. Ulasan Network – Sasaran Kedua di Hari yang Sama
Masih pada hari yang sama, kantor media Ulasan Network yang berada di Tanjungpinang mengalami kejadian serupa. Order fiktif dalam jumlah masif kembali dikirim ke alamat kantor redaksi, menggunakan data identitas palsu yang nyaris identik. Redaksi mengonfirmasi bahwa mereka tidak mengorder layanan apa pun.
Beberapa driver menyampaikan bahwa nama pemesan pada aplikasi adalah Musdalifah SP Br Simanjuntak, nama yang juga ditemukan pada order di Batamnews. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku atau pelaku-pelaku teror ini beroperasi dengan pola yang jelas dan sistematis, menyasar lebih dari satu media sekaligus.
3. Tribun Batam – Teror Berlanjut
Pada Selasa, 29 Juli 2025, giliran kantor media Tribun Batam yang diteror. Sekitar 30 driver GoSend dan GrabExpress kembali mendatangi kantor tersebut dengan membawa order pengiriman fiktif. Salah satu driver bahkan mengaku bahwa ia menerima order dari nama yang berbeda, yakni Munip Nastin Julianto, tetapi tetap dengan alamat yang dituju adalah kantor Tribun Batam.
Pemimpin Redaksi Tribun Batam, Prawira Maulana, menyatakan bahwa mereka menduga kuat ada motif tertentu di balik teror ini. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut tidak bisa dianggap iseng, apalagi terjadi setelah pemberitaan yang sensitif atau kontroversial.
Pola Serangan: Terstruktur, Digital, dan Anonim
Pelaku memanfaatkan platform ojek online (Gojek dan Grab) untuk mengirim order fiktif dalam jumlah besar secara serentak. Identitas pemesan di aplikasi tidak dapat dilacak dengan mudah karena pelaku menggunakan nama dan nomor palsu. Dalam banyak kasus, nomor pemesan dilindungi oleh sistem platform, yang menyulitkan pelacakan manual.
Serangan digital semacam ini memiliki dampak luas:
- Membuat operasional media terganggu, karena harus menghadapi puluhan hingga ratusan driver yang bingung dan kesal.
- Merugikan driver ojol, yang membuang waktu, tenaga, dan bahkan saldo dompet digital mereka untuk pesanan yang tidak valid.
- Menciptakan potensi eskalasi konflik di lapangan, karena driver bisa salah paham dan menyalahkan pihak media.

www.service-ac.id
Tanggapan dan Reaksi Publik
Media Korban: “Ini Teror Terencana”
Zuhri Muhammad, CEO Batamnews, menyatakan bahwa ini bukan kesalahan teknis atau iseng semata:
“Kami melihat ini sebagai bentuk teror digital yang ditujukan untuk mengintimidasi media. Ini bisa jadi upaya membungkam pemberitaan yang tidak disukai oleh pihak tertentu.”
Media-media tersebut telah melaporkan kejadian ini ke kepolisian, termasuk ke Polda Kepri, dan berharap pihak berwenang dapat menelusuri pelaku melalui jalur digital forensik.
AJI Kota Batam: Serangan terhadap Kebebasan Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam mengecam keras aksi teror ini. Mereka menyebutnya sebagai bentuk baru dari kekerasan terhadap pers, yang kini bertransformasi menjadi serangan digital:
“Ini adalah bentuk pembungkaman pers melalui cara yang tidak langsung, tetapi sangat merugikan. Kami mendesak kepolisian segera mengusut pelaku dan memanggil pihak platform untuk bertanggung jawab.”
Forum CEO Media Kepri: Serukan Investigasi Bersama
Forum CEO Media Kepri menyuarakan perlunya tim investigasi bersama yang terdiri dari aparat, media, dan organisasi pers untuk mengusut dan mencegah terulangnya kejadian serupa. Mereka juga mendesak platform seperti Gojek dan Grab untuk:
- Membuka akses pelacakan akun pemesan yang bermasalah,
- Mengembangkan fitur deteksi order mencurigakan,
- Menerapkan verifikasi tambahan jika order dilakukan dalam jumlah besar dari satu akun.
Dampak Lebih Luas: Media & Driver Ojol Sama-sama Jadi Korban
Insiden ini mengingatkan bahwa serangan digital bisa menimpa siapa saja, baik institusi besar seperti media, maupun individu seperti driver ojek online. Dalam kasus ini, para pengemudi ojol menjadi korban kerugian material dan reputasi:
- Banyak driver yang khawatir rating akun mereka akan turun karena membatalkan order,
- Waktu dan bahan bakar terbuang untuk pesanan palsu,
- Tidak ada kompensasi dari platform hingga artikel ini ditulis.
Penutup: Alarm bagi Kebebasan Pers dan Regulasi Digital
Teror order fiktif terhadap media ini membuka mata bahwa intimidasi tidak selalu berbentuk kekerasan fisik. Di era digital, serangan bisa dilakukan dari balik layar, secara terstruktur dan anonim, namun efeknya sangat nyata: kekacauan logistik, trauma psikologis, hingga potensi self-censorship oleh media yang takut menjadi target selanjutnya.
Peristiwa ini menegaskan perlunya:
- Perlindungan hukum yang lebih kuat bagi media, termasuk terhadap serangan non-fisik.
- Ketegasan platform digital dalam mendeteksi dan menindak akun-akun penyalahgunaan.
- Kesadaran masyarakat bahwa perbedaan pendapat tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan—baik fisik maupun digital.