
Kupang, Mata4.com — Suasana duka masih menyelimuti keluarga Prada Lucky Chepril Saputra Namo. Pemuda berusia 20 tahun itu, baru dua bulan menyandang seragam hijau loreng sebagai prajurit TNI Angkatan Darat, harus meregang nyawa bukan di medan tempur, melainkan di tangan sesama rekan satu barak. Ia tewas dalam program yang disebut sebagai “pembinaan”, namun ternyata berubah menjadi ajang kekerasan brutal.
Kini, 20 orang prajurit—termasuk satu perwira—telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kematian Lucky. Mereka bukan hanya menghadapi proses hukum internal militer, tapi juga ancaman hukuman pidana berat dari negara.
Mimpi yang Berubah Jadi Maut
Prada Lucky baru saja menyelesaikan pendidikan militer di Rindam IX/Udayana dan ditugaskan ke Yonif 744/Satya Yudha Bhakti, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Masa-masa awal penugasan semestinya menjadi momen pembelajaran dan adaptasi. Namun, yang diterimanya justru “pembinaan” dalam bentuk kekerasan fisik sistematis oleh para senior.
Selama berhari-hari, Lucky diduga mengalami serangkaian tindakan kekerasan. Tak kuat menahan luka yang dideritanya, ia akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 27 Juli 2025. Kematian Lucky memicu gelombang kemarahan dari publik, termasuk dari internal TNI sendiri.
20 Tersangka dan 5 Pasal Berat Menanti
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menyatakan bahwa proses penyelidikan telah menemukan bukti kuat keterlibatan 20 orang dalam kejadian ini. “Proses hukum dilakukan terbuka, transparan, dan tidak ditutup-tutupi,” tegasnya.
Para tersangka dikenai lima pasal berlapis, dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yaitu:
- Pasal 170 KUHP – Pengeroyokan yang menyebabkan kematian
- Pasal 351 KUHP – Penganiayaan
- Pasal 354 KUHP – Penganiayaan berat hingga mengakibatkan korban meninggal
- Pasal 131 KUHPM – Memukul sesama anggota TNI
- Pasal 132 KUHPM – Pembiaran kekerasan oleh senior terhadap junior
Ancaman hukuman maksimal dari kombinasi pasal tersebut bisa mencapai 15 tahun penjara dan pemecatan dari dinas militer.
Pernyataan Tegas TNI: “Tidak Ada yang Ditutup-tutupi”
Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Piek Budyakto menjamin bahwa proses hukum berjalan secara objektif. Ia bahkan membuka ruang bagi persidangan yang dapat disaksikan publik agar tidak ada celah penyalahgunaan kewenangan.
“Prajurit TNI harus melindungi rakyat dan satu sama lain. Tidak ada ruang bagi kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan di institusi ini,” ujarnya dalam konferensi pers di Kupang.

www.service-ac.id
Tangisan Seorang Ayah: “Kalau Tidak Mati, Pecat!”
Yang paling terpukul tentu keluarga almarhum. Ayah Prada Lucky, Serma Christian Namo, yang juga seorang prajurit TNI aktif, tak kuasa menyembunyikan amarah dan kesedihan. Ia menyuarakan dengan lantang bahwa pelaku harus dihukum maksimal.
“Saya serahkan keadilan ke Panglima TNI. Tapi saya hanya minta dua: MATI atau PECAT! Mereka bunuh anak saya seperti binatang,” ucapnya, mengguncang ruangan wawancara.
Ibunda Lucky bahkan tak sanggup berbicara. Air mata terus mengalir di wajahnya saat melihat foto sang putra yang hanya sempat mengenakan seragam kebanggaannya selama dua bulan.
Kecaman Publik dan Seruan Reformasi Militer
Tragedi ini mengguncang masyarakat luas. Tagar #KeadilanUntukLucky dan #HentikanKekerasanDiTNI menjadi trending topic di berbagai media sosial. Sejumlah LSM dan aktivis HAM menyoroti praktik kekerasan yang kerap dibungkus dengan istilah “pembinaan” atau “tradisi militer”.
Ketua DPR RI Puan Maharani juga angkat bicara. Ia mendesak evaluasi total terhadap pola relasi senior-junior di tubuh TNI. “Pembinaan bukanlah alasan untuk menyiksa. Ini harus menjadi momen evaluasi menyeluruh,” katanya.
Komisi I DPR yang membidangi pertahanan bahkan sudah menjadwalkan pemanggilan pihak TNI untuk meminta pertanggungjawaban dan menyusun langkah reformasi pembinaan prajurit.
Budaya Kekerasan di Ujung Tanduk
Kematian Lucky menjadi titik terang dari budaya kekerasan yang selama ini dianggap sebagai bagian tak tertulis dari “pendewasaan” prajurit baru. Namun publik kini mulai menuntut adanya garis batas yang tegas antara disiplin dan penyiksaan.
Akademisi dan pakar militer Dr. Arie Sudrajat dari Universitas Pertahanan menyebut bahwa tragedi Lucky adalah efek sistemik dari minimnya pengawasan internal terhadap praktik kekerasan informal. “Jika tidak segera dirombak, kekerasan akan menjadi ‘bahasa’ yang diwariskan dari generasi ke generasi di tubuh militer,” ujarnya.
Penutup: Sebuah Nama, Sebuah Peringatan
Lucky Chepril Saputra Namo, seorang prajurit muda yang baru menapaki kariernya, kini telah tiada. Namun kematiannya bukan sekadar statistik. Ia adalah simbol dari peringatan keras: bahwa kekerasan tak bisa lagi dibenarkan atas nama loyalitas, tradisi, atau pembinaan.
Kini, sorotan publik, tekanan institusi, dan tangisan keluarga menuntut satu hal—keadilan tanpa kompromi.