
Jakarta, Mata4.com — Konflik internal di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali mencuat dengan keras setelah kubu Agus Suparmanto secara resmi menolak pengesahan Mardiono sebagai Ketua Umum (Ketum) PPP yang disahkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Penolakan ini tidak hanya menambah ketegangan yang telah berlangsung lama dalam partai berlambang Ka’bah tersebut, tetapi juga membuka babak baru dalam dualisme kepemimpinan yang selama ini membagi PPP menjadi dua kubu yang saling bersaing.
Surat Keputusan Menkumham Dinilai Cacat Hukum
Kubu Agus Suparmanto menilai SK Menkumham yang mengesahkan Mardiono sebagai Ketum cacat hukum dan tidak sah secara administratif. Mereka berpendapat bahwa proses pengesahan SK tersebut tidak mengikuti mekanisme yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP, serta melanggar prosedur internal partai yang telah disepakati secara bersama.
“SK Menkumham ini cacat secara hukum karena mengabaikan proses musyawarah dan persetujuan di internal partai. Keputusan yang diambil oleh Kemenkumham tidak memperhatikan fakta dan dinamika yang ada dalam tubuh PPP,” ujar juru bicara kubu Agus Suparmanto dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Jakarta, Kamis (3/10).
Menurut kubu Agus, keberadaan SK tersebut hanya memperuncing dualisme dan tidak menyelesaikan permasalahan yang sudah berlarut-larut sejak beberapa bulan terakhir. Mereka menegaskan akan mengajukan langkah hukum guna membatalkan SK tersebut demi menjaga integritas dan kedaulatan partai.
Proses Pengesahan yang Kontroversial
Proses pengesahan Mardiono sebagai Ketum PPP memang berjalan di tengah suasana yang penuh kontroversi. Kubu Mardiono mengklaim bahwa mereka telah mengikuti prosedur sesuai aturan yang berlaku, termasuk melaporkan hasil Musyawarah Nasional (Munas) dan mendapat pengesahan dari Kemenkumham berdasarkan dokumen yang lengkap.
Namun, kubu Agus menilai bahwa Munas yang menjadi dasar pengesahan tersebut tidak sah secara prosedural karena tidak mengakomodasi seluruh elemen partai. Mereka juga menuduh ada intervensi politik yang mempengaruhi keputusan Kemenkumham.
Salah satu tokoh dari kubu Mardiono menegaskan, “Keputusan Kemenkumham adalah final dan mengikat. Kami menghormati keputusan ini sebagai upaya menegakkan kepemimpinan yang sah di PPP.”
Dampak Dualisme Terhadap PPP dan Peta Politik Nasional
Perseteruan antara kubu Mardiono dan Agus Suparmanto membawa dampak signifikan bagi PPP, khususnya dalam hal konsolidasi dan strategi politik. Dualisme kepemimpinan membuat partai ini menghadapi kesulitan dalam membangun koalisi, menyusun strategi pemilu, hingga menjalankan program-program partai.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Rahayu Setiawan, mengatakan bahwa dualisme seperti ini sangat merugikan partai dan bisa melemahkan posisi PPP di panggung politik nasional. “PPP adalah partai dengan basis massa yang besar, tetapi jika tidak segera menyelesaikan masalah internal, partai ini berisiko kehilangan kepercayaan publik dan pemilih,” katanya.
Selain itu, dinamika ini juga menarik perhatian partai-partai lain yang tengah memantau situasi internal PPP untuk mengambil posisi politik yang strategis menjelang Pemilu 2029.
Upaya Penyelesaian Konflik
Menanggapi situasi ini, kubu Agus Suparmanto menyatakan keseriusan mereka untuk menyelesaikan konflik melalui jalur hukum dan mediasi. Mereka berharap penyelesaian secara damai dan bermartabat bisa dicapai agar partai dapat fokus kembali pada agenda politik nasional.
Agus Suparmanto dalam sebuah pernyataan resmi mengajak semua pihak untuk membuka ruang dialog dan mengedepankan kepentingan bersama. “Kami ingin PPP bersatu dan solid, bukan terpecah oleh kepentingan politik sesaat,” ujarnya.
Kementerian Hukum dan HAM sendiri hingga kini belum memberikan pernyataan resmi terkait penolakan yang disampaikan kubu Agus. Namun, dalam beberapa kesempatan, Kemenkumham menegaskan bahwa pengesahan kepengurusan partai merupakan keputusan administratif yang berdasar pada dokumen yang sah dan memenuhi syarat hukum.
Harapan Publik dan Sikap Media
Konflik yang berlangsung di PPP menjadi perhatian publik luas. Masyarakat berharap agar partai politik dapat menjaga soliditas internal dan menjalankan fungsi demokrasi dengan baik, tanpa terganggu oleh perpecahan yang berkepanjangan.
Media massa dan jurnalis berkomitmen untuk menyajikan berita dengan prinsip objektivitas dan berimbang, menghindari penyebaran informasi yang bersifat provokatif atau menimbulkan ketegangan sosial. Kode etik jurnalistik menjadi pegangan utama dalam mengabarkan setiap perkembangan kasus ini.
Pandangan Pakar dan Prospek ke Depan
Pakar hukum tata negara, Prof. Hendra Santoso, menilai bahwa penyelesaian konflik kepengurusan partai politik harus mengacu pada aturan perundang-undangan serta prinsip-prinsip demokrasi internal partai. “Jika ada persoalan prosedural, mekanisme hukum dan musyawarah harus ditempuh, bukan dengan mengabaikan aturan yang ada,” jelas Prof. Hendra.
Sementara itu, pengamat politik lainnya menyarankan agar PPP segera menyelesaikan dualisme ini agar tidak semakin menggerus elektabilitas partai. Mereka juga menilai bahwa konflik internal yang berkepanjangan dapat memberikan keuntungan politik bagi rival partai lain.
Kesimpulan
Kasus penolakan SK Menkumham terhadap pengesahan Mardiono sebagai Ketum PPP menambah dinamika politik yang cukup rumit di tubuh partai berlambang Ka’bah ini. Bagaimanapun hasilnya, penyelesaian yang berlandaskan hukum dan musyawarah menjadi kunci agar PPP bisa bangkit dan kembali menjadi kekuatan politik yang solid.
Publik, media, dan para pemangku kepentingan berharap agar proses ini berjalan adil, transparan, dan dapat membawa manfaat positif bagi demokrasi dan stabilitas politik di Indonesia.