
Jakarta, Mata4.com — Dunia peradilan Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong — yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong — melangkah maju dengan sebuah langkah hukum yang tak lazim: melaporkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). Tuduhannya cukup serius — dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam kasus korupsi yang menyeret dirinya.
Langkah ini tak hanya mencuri perhatian media nasional, tapi juga membuka kembali diskusi luas mengenai integritas peradilan, etika hakim, dan transparansi hukum di Indonesia.
Awal Mula Kasus: Vonis Berat dan Kontroversial
Pada Juli 2025, Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas dakwaan penyalahgunaan wewenang dalam skema impor gula nasional tahun 2022–2023.
Putusan tersebut sontak menuai reaksi keras dari tim kuasa hukumnya. Menurut mereka, vonis tidak mencerminkan fakta persidangan dan banyak bagian dalam pertimbangan putusan yang dinilai subjektif, mengandung muatan ideologis, bahkan tidak didukung oleh bukti kuat.
Salah satu anggota majelis hakim, Alfis Setyawan, menjadi pusat perhatian. Tim hukum menyebut bahwa dalam persidangan, Alfis menunjukkan sikap tidak netral dan cenderung menghakimi Tom sejak awal. Ia juga dinilai membuat komentar-komentar pribadi tentang “ekonomi kapitalis” dan “liberalisasi perdagangan” yang dianggap keluar dari konteks hukum dan tidak relevan dalam persidangan.
Isi Laporan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Laporan resmi yang diajukan ke KY dan MA mencantumkan tiga nama hakim:
- Dennie Arsan Fatrika – Ketua Majelis
- Purwanto S. Abdullah – Anggota
- Alfis Setyawan – Anggota (paling disorot)
Beberapa poin utama dalam laporan meliputi:
- Sikap dan komentar hakim yang dianggap tidak mencerminkan imparsialitas.
- Pertimbangan hukum yang bias, tidak berdasarkan bukti, dan terkesan menghakimi gaya hidup serta pilihan kebijakan ekonomi terdakwa.
- Dugaan adanya pelanggaran terhadap prinsip praduga tak bersalah.
Langkah ini bukan hanya untuk membela Tom secara pribadi, melainkan juga sebagai upaya mendorong pengawasan terhadap integritas peradilan, yang kerap kali diragukan masyarakat.
Bukan Pertama Kalinya: Tom Pernah Laporkan Hakim Praperadilan
Ini bukan kali pertama Tom dan tim hukumnya melayangkan laporan ke Komisi Yudisial. Pada Desember 2024, mereka juga melaporkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani praperadilan penetapan tersangka Tom.
Alasannya saat itu adalah:
- Penetapan tersangka dinilai tidak sah karena dilakukan tanpa prosedur yang sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK No. 21/PUU-XII/2014).
- Hak atas penasihat hukum dilanggar, karena penyidik menunjuk pengacara tanpa persetujuan Tom.
Kedua insiden ini memperkuat argumen tim hukum bahwa sejak awal, proses hukum yang dijalani Tom Lembong tidak adil dan sarat kejanggalan.

www.service-ac.id
Siapa Tom Lembong Sebenarnya?
Tom Lembong bukan tokoh sembarangan. Ia adalah ekonom lulusan Harvard, pernah menjabat sebagai Kepala BKPM dan Menteri Perdagangan di era Presiden Jokowi. Dikenal sebagai teknokrat yang vokal, reformis, dan berpikiran terbuka — Tom selama ini aktif dalam isu-isu ekonomi strategis, investasi asing, dan reformasi pasar.
Maka tak heran, ketika ia dijerat dalam kasus yang dinilai politis dan “tidak masuk akal” oleh sebagian kalangan, banyak pihak mulai mempertanyakan motif di baliknya.
Reaksi Publik dan Pengamat
Langkah pelaporan ini mendapat sorotan tajam dari publik dan pengamat hukum. Beberapa melihatnya sebagai upaya terakhir seorang terdakwa untuk memperjuangkan keadilan. Namun sebagian lain melihatnya sebagai bentuk kritik tajam terhadap kondisi peradilan kita yang dinilai belum sepenuhnya bersih dari bias, tekanan eksternal, dan kepentingan politik.
“Kalau memang ada pelanggaran etik, Komisi Yudisial harus berani bersikap. Integritas hakim itu tiangnya peradilan,” ujar seorang pengamat hukum dari Universitas Indonesia.
Langkah Komisi Yudisial: Akan Ada Tindakan?
Hingga awal Agustus 2025, KY menyatakan sedang mempelajari laporan tersebut dan akan menindaklanjuti jika ditemukan cukup bukti adanya pelanggaran etik. Namun seperti kasus-kasus sebelumnya, publik berharap agar KY tak hanya berhenti di meja verifikasi, tetapi benar-benar memberikan tindakan tegas jika terbukti ada pelanggaran.
Apa yang Dipertaruhkan?
Kasus ini lebih dari sekadar nasib hukum Tom Lembong. Ini adalah ujian bagi:
- Transparansi dan integritas peradilan Indonesia
- Perlindungan terhadap hak asasi terdakwa
- Kemampuan institusi seperti KY dan MA menjaga kehormatan hukum
Jika laporan ini hanya dianggap sebagai formalitas tanpa tindak lanjut nyata, maka kepercayaan publik terhadap pengadilan akan makin merosot.
Penutup: Melawan atau Membela?
Bagi sebagian orang, Tom Lembong sedang “melawan sistem.” Bagi yang lain, ia sedang “membela dirinya sendiri.” Namun satu hal yang pasti: langkah berani melaporkan hakim ke KY bukanlah sesuatu yang dilakukan tanpa keyakinan kuat bahwa ada yang tidak beres di ruang sidang.